I made this widget at MyFlashFetish.com.

Rabu, 24 Maret 2010

HASIL POLING EKONOMI ISLAM

Poling Al-Jazeera: 88,5% Percaya Sistem Ekonomi Islam yang Paling Baik untuk Diterapkan di Dunia. www.syabab.com

Sabtu, 20 Maret 2010

PENGENDALIAN INFLASI DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN

Oleh: Dwi Condro Triono

Abstraksi
Prasarat utama bagi negara yang ingin mewujudkan pembangunan ekonomi jangka panjangnya adalah terciptanya kestabilan ekonomi jangka pendek. Inflasi merupakan penyakit utama ekonomi jangka pendek yang perkembangannya semakin kompleks dan semakin sulit untuk dikendalikan. Berbagai kebijakan ekonomi konvensional sudah tidak ampuh lagi untuk menyelesaikan penyakit ekonomi ini.
Tulisan ini ingin memberikan sebuah terobosan solusi untuk mengatasi inflasi dengan pendekatan yang baru, yaitu dengan mengacu kepada perspektif Al Qur’an. Perspektif baru ini diharapkan mampu menyelesaikan masalah inflasi tidak hanya dalam dataran menghilangkan gejala (symtom), tetapi benar-benar dapat menghilangkan penyakit langsung kepada sumbernya (causatic).
Menurut perspektif Al Qur’an, sumber penyebab munculnya gejolak ekonomi, yang ditunjukkan dengan inflasi yang tinggi adalah akibat penggunaan mata uang yang menyimpang dari Al Qur’an. Penyimpangan itu tidak lain adalah menjadikan mata uang sebagai alat komoditi dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan itu disebut oleh Al Qur’an dengan istilah riba, baik riba nasi’ah maupun riba fadhl. Oleh karena itu, jika ingin mewujudkan perekonomian yang lebih stabil, dengan tingkat inflasi yang lebih terkendali, maka harus ada keberanian untuk menghilangkan sumber penyebab utamanya tersebut.

I. PENGANTAR
Pembangunan ekonomi senantiasa menduduki peran yang sangat penting bagi negara-negara di seluruh dunia ini, terutama setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua. Terlebih lagi bagi negara-negara yang sedang berkembang (NSB), yang nota bene adalah negara-negara bekas jajahan (Prayitno & Santoso, 1996). Namun demikian, dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi itulah, banyak masalah yang harus dihadapi oleh setiap negara. Masalah yang senantiasa harus dihadapi itu tidak lain adalah masalah ketidakstabilan ekonomi.
Ketidakstabilan ekonomi biasanya diidentikkan dengan munculnya penyakit-penyakit ekonomi makro. Paling tidak ada tiga penyakit ekonomi makro utama yang senantiasa muncul dalam proses pembangunan ekonomi, yaitu: masalah inflasi, pengangguran dan ketimpangan neraca pembayaran (Boediono, 1999). Menurut Bordo, Dittimar & Gavin (2003), sejak tahun 1980-an masalah inflasi merupakan masalah ekonomi nomor satu yang harus dihadapi oleh negara-negara di dunia ini. Bahkan, peran bank sentral di berbagai negara di dunia ini sudah identik dengan bank sentral yang mengadopsi target inflasi baik secara implisit maupun eksplisit.
Inflasi pada mulanya senantiasa diidentikkan dengan pencetakan uang yang terlalu banyak, yang menyebabkan bertambahnya pasokan jumlah uang beredar menjadi lebih banyak. Hal itu dapat menyebabkan terjadinya kenaikan harga. Oleh karena itu inflasi didefinisikan sebagai kenaikan tingkat harga secara umum. Definisi itu sebagai kebalikan dari kenaikan harga hanya satu atau dua komoditi saja (Humphreys, 1997).
Pengalaman krisis demi krisis yang menimpa ekonomi dunia dalam satu abad terakhir ini seharusnya telah menyadarkan kepada kita bahwa masalah inflasi telah berkembang menjadi persoalan yang semakin kompleks. Diawali dengan terjadinya malapetaka yang besar (the great depressions) pada tahun 1930-an, kemudian disusul dengan terjadinya krisis Amerika Latin pada dekade 1980-an, akhirnya muncul kembali pada krisis moneter di Asia pada pertengahan tahun 1997-an, adalah pengalaman ekonomi dunia dengan inflasi tingginya (hyper inflation) yang sangat merusakkan sendi-sendi ekonomi (Triono, 2006).
Menurut Chapra (2000), jika kita hendak melakukan pengobatan, maka tidak akan ada pengobatan yang efektif kecuali hal itu diarahkan kepada arus utama masalah. Kesalahan yang umumnya dilakukan adalah bahwa pengobatan hanya dilakukan pada symtom (gejala) saja, bukan secara causatic (sumber masalah). Contoh penyelesaian masalah yang hanya sampai kepada gejala adalah: penyelesaian krisis ekonomi dengan hanya melihat ketidakseimbangan anggaran, ekspansi moneter yang berlebihan, defisit neraca pembayaran yang terlalu besar, naiknya kecendrungan proteksionis, tidak memadainya bantuan asing dan kerja sama internasional yang tidak mencukupi dsb. Akibatnya, penyembuhannya hanya bersifat sementara, seperti obat-obatan analgesik, mengurangi rasa sakit hanya bersifat sementara. Beberapa saat kemudian, krisis muncul kembali, bahkan lebih mendalam dan serius (Chapra 2000).
Tulisan ini menawarkan solusi alternatif terhadap pengendalian ketidakstabilan ekonomi khususnya yang ditimbulkan oleh inflasi dengan menggunakan perspektif Al Qur’an. Perspektif ini digunakan dengan tujuan untuk mencoba mencari penyelesaian masalah sampai kepada sumber arus utama masalahnya, bukan hanya sekedar penyelesaian kepada gejalanya saja.

II. INFLASI DAN PENGANGGURAN
Sebelum kita masuk kepada solusi menurut perspektif Al Qur’an, terlebih dahulu kita harus melihat kembali, mengapa pengendalian inflasi yang diberikan ekonomi konvensional senantiasa mengalami kebuntuan? Jawabnya tidak lain adalah, bahwa kebijakan ekonomi yang disandarkan pada teori ekonomi konvesional tidak pernah memberikan penyelesaian yang bersifat tuntas. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, setiap solusi yang diberikan akan bersifat saling menegasikan antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya.
Contohnya adalah, jika pemerintah ingin menurunkan tingkat inflasi dengan menggunakan kebijakan uang ketat (tight money policy), justru akan menimbulkan dampak meningkatnya angka pengangguran. Demikian sebaliknya, jika ingin menekan tingkat pengangguran, akan mendorong terjadinya inflasi yang tinggi dan seterusnya. Fenomena hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran tersebut dilukiskan oleh seorang Profesor dari Canberra yang bernama A.J. Phillips, yang kemudian dikenal dengan kurva Phillips sebagai berikut (Humphreys, 1997):
Gambar 1. Kurva Phillips


Namun demikian, logika kurva Phillips di atas semakin jauh dari faktanya ketika ekonomi dunia memasuki pasca tahun 70-an. Saat itu ekonomi dunia dilanda resesi hebat. Segenap kebijakan ekonomi telah dikerahkan, tetapi tidak banyak membantu mengatasi bencana ekonomi tersebut. Kebijakan untuk mengatasi inflasi telah menyebabkan terjadinya pengangguran yang lebih besar. Sementara itu, gerakan ekspansif untuk menciptakan lebih banyak pekerjaan telah menyebabkan terjadinya laju inflasi yang sangat tinggi. Kurva Phillips semakin menjauh dari titik originnya. Fenomena itu kemudian dikenal dengan istilah stagflasi ekonomi. Suatu penyakit ekonomi baru yang lebih menakutkan (Deliarnov, 1997; Humphreys, 1997). Ketidakberdayaan kebijakan ekonomi konvensional tersebut akhirnya menjadi semakin nyata ketika krisis moneter mendera kawasan Asia. Hampir seluruh kebijakan ekonomi menjadi lumpuh seketika.

III. KETIDAKSTABILAN EKONOMI DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN
Jika kita mau merujuk kepada Al Qur'an, maka akan dijumpai ayat yang memberi informasi tentang akan terjadinya ketidakstabilan atau bahkan kegoncangan ekonomi, jika manusia melakukan kesalahan dalam menjalankan praktik ekonomi. Hal itu dapat disimak dalam QS. Al Baqarah: 275:


“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila...”.


Itulah gambaran tentang manusia yang berdiri saja tidak bisa, laksana manusia yang kerasukan setan, mengalami kegoncangan yang hebat. Jika kita periksa berbagai kitab tafsir, kebanyakan para mufassir memberikan penafsiran terhadap lafadz “laa yaquumuuna” (tidak bisa berdiri) adalah keadaan ketika dibangkitkan dari alam kubur pada hari kiamat nanti. Para pemakan riba nantinya tidak akan bisa berdiri laksana orang yang kerasukan setan (Ash- Shiddieqy, 2000).
Menurut pendapat penulis, akibat dari memakan (mengambil) riba selain akan mengalami keadaan “tidak bisa berdiri” kelak di akherat (sebagaimana yang digambarkan oleh para ahli tafsir di atas), keadaan tersebut juga akan dialami para pengambil riba di dunia ini. Pendapat penulis ini didasarkan pada dua pendekatan pemahaman sebagai berikut:
Pertama. Pendekatan pemahaman yang didasarkan pada penjelasan dari keumuman ayat-ayat Al Qur’an yang lain. Ada banyak ayat Al Qur’an yang memberi penjelasan secara umum, bahwa jika manusia melakukan penyimpangan atau berpaling dari petunjuk Al Qur’an, maka manusia pasti akan merasakan kehidupan yang sengsara di dunia ini. Salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut adalah Firman Allah SWT:

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS. Thaha: 124).

Lafadz “dzikriy” yang dimaksud dalam ayat di atas adalah Al Qur’an. Sedangkan lafadz “ma’iisyatan dhanka” adalah kehidupan dunia yang sengsara. Ayat tersebut memberikan penjelasan secara umum, bahwa setiap manusia yang menyimpang dari Al Qur’an dampaknya tidak hanya akan dirasakan di akherat, akan tetapi juga akan dirasakan di dunia ini, yaitu akan menyebabkan kehidupan yang menderita.
Kedua. Pendekatan pemahaman yang ditinjau dari konteks pembicaraan dari kandungan awal ayat Al Baqarah 275 tersebut. Konteks pembicaraan yang terkandung pada awal ayat ini adalah tentang celaan terhadap orang yang memakan atau mengambil riba. Konteks pengambilan riba tidak lain adalah persoalan yang terkait dengan bidang ekonomi. Dengan demikian, apa yang dipaparkan Allah SWT dalam ayat ini tidak lain adalah pembicaraan dalam konteks ekonomi.
Dengan demikian, berdasarkan kepada dua pendekatan pemahaman di atas, maka penulis dapat memberikan pemahaman terhadap awal ayat di atas, yaitu tidak hanya sekedar kegoncangan yang akan terjadi di akherat saja, akan tetapi kegoncangan tersebut akan juga dialami oleh para pengambil riba di dunia ini. Kegoncangan tersebut tidak lain adalah kegoncangan ekonomi. Atau dengan istilah yang lebih teknis adalah “ketidakstabilan ekonomi”. Wallahu a’lam. Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: mengapa kegoncangan atau ketidakstabilan ekonomi tersebut dapat terjadi?

IV. PENYEBAB TERJADINYA KETIDAKSTABILAN EKONOMI
Untuk menjawab pertanyaan di atas ternyata tidak sulit. Sebab, jawabannya langsung ditunjukkan oleh Allah SWT pada kelanjutan ayat di atas, yaitu:


“...Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba(QS. Al Baqarah: 275).

Kelanjutan ayat di atas memberi penjelasan, bahwa penyebab kegoncangan tersebut adalah akibat mempersamakan antara jual beli dan riba. Dalam teori ekonomi konvensional, kenyataannya memang tidak pernah dibedakan antara laba yang diambil dari penjualan barang dan bunga dari “penjualan” uang. Demikian juga antara sewa dari pemanfaatan barang yang dipinjamkan, dengan bunga dari pemanfaatan uang yang dipinjamkan. Semuanya dianggap sama, karena dianggap sebagai kompensasi logis dari “imbalan” dari pemanfaatan sesuatu (Boediono, 1992).
Hal itu sangat berbeda dengan Al Qur'an yang membedakan antara pemanfaatan barang dan pemanfaatan uang, antara penjualan barang dengan “penjualan” uang. Al Qur'an menghalalkan keuntungan (laba) yang didapatkan dari transaksi terhadap barang dan mengharamkan keuntungan (bunga) yang didapatkan dari transaksi terhadap uang, yang kemudian disebut dengan riba. Hal itu telah ditegaskan Allah SWT dalam kelanjutan ayat tersebut, yaitu:
“…padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah: 275).
Dengan demikian, jika kita mencermati ketentuan yang telah digariskan ayat Al Qur’an di atas, maka kita dapat menarik satu pemikiran yang mendasar, bahwa uang dalam pandangan Islam harus mendapatkan perlakuan khusus, yaitu tidak boleh dijadikan sebagai alat komoditi sebagaimana barang dalam rangka untuk memperoleh keuntungan, yaitu riba. Jika ketentuan Al Qur’an ini dilanggar, maka akan menyebabkan terjadinya kegoncangan ekonomi, sebagaimana yang telah disebut di awal ayat ini.
Dari sinilah kita dapat menarik kesimpulan, bahwa sumber penyebab terjadinya ketidakstabilan ekonomi atau terjadinya kegoncangan ekonomi tidak lain adalah akibat menggunakan uang sebagai alat komoditi dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Keuntungan yang didapat itulah yang disebut dengan riba, yang hukumnya haram. Para pelakunya telah diancam akan dimasukkan ke dalam neraka, bahkan akan menyebabkan kekal di dalamnya, apabila pelakunya sudah mengetahui, kemudian mengulang-ulangnya. Hal itu dapat dlihat dari kelanjutan Firman Allah dalam ayat tersebut:


“…Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya(QS. Al Baqarah: 275).

I. RIBA DAN KETIDAKSTABILAN EKONOMI
Setelah kita memahami sumber penyebab ketidakstabilan ekonomi, maka pertanyaan berikutnya adalah: mengapa riba dapat menjadi sumber penyebab ketidakstabilan ekonomi? Untuk memahami hal itu, maka kita harus memahami makna dari riba itu sendiri secara lebih mendalam.
Riba dalam makna bahasa berarti bertambah, berkembang atau tumbuh. Sedangkan dalam makna syar’i, riba maknanya adalah tambahan atau “premi” yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman di luar pengembalian pokok, sebagai syarat pinjaman atau perpanjangan batas jatuh tempo (Chapra 2000; Sabiq, 1993).
Selanjutnya, dengan memahami penjelasan dari dalil-dalil As Sunnah, riba tersebut dapat dikategorikan ke dalam 2 bagian, yaitu:
a. Riba Nasi’ah
Istilah nasi’ah berasal dari kata nasa’a yang bermakna menunda, menangguhkan atau menunggu. Dengan demikian makna riba nasi’ah secara istilah adalah tambahan atau “premi” yang harus diberikan penghutang karena telah diberi masa untuk membayar hutangnya (Chapra 2000; Sabiq, 1993). Riba nasi’ah inilah yang saat ini banyak diambil dalam praktik di perbankan konvensional, yang dikenal dengan istilah bunga.
b. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah tambahan atau keuntungan yang diperoleh dari transaksi tukar-menukar atau jual-beli barang-barang tertentu. Ada 6 jenis barang yang dapat memunculkan riba apabila barang-barang tersebut ditransaksikan, yaitu: emas, perak, gandum, jelai, kurma dan garam (Chapra 2000; Sabiq, 1993). Dalilnya adalah:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma dan garam dengan garam serupa dengan serupa, dari tangan ke tangan. Barangsiapa yang membayar lebih atau mengambil lebih, ia telah melakukan riba. Pengambil dan pembayar sama-sama berdosa” (HR. Muslim; HR. Ahmad).

Emas dan perak yang dimaksudkan dalam Hadits di atas tidak lain adalah mata uang (An Nabhani, 1994). Oleh karena itu, ketentuan yang harus dipenuhi dalam tukar-menukar atau jual beli mata uang yang sejenis adalah: berat timbangannya atau nilai uangnya sama dan setimbang. Sedangkan untuk tukar-menukar mata uang yang tidak sejenis, maka boleh dengan sesukanya, namun dengan ketentuan harus kontan dan serah terimanya harus berada di tempat. Jika ketentuan ini dilanggar, maka akan menimbulkan riba. Dalilnya adalah:
“Janganlah kalian menjualbelikan emas dengan emas kecuali dengan sama (timbangan dan ukurannya). Tidak boleh sebagiannya melebihi sebagiannya yang lain, juga jangan kalian menjual perak dengan perak kecuali dengan timbangan dan ukuran yang sama. Dan jangan menjual emas dan perak yang tidak ada di tempat saat melakukan transaksi (ghaib)” (HR. Bukhari, No: 2177).
Rasulullah SAW melarang jual beli perak dengan perak dan emas dengan emas, kecuali dengan nilai setara (sama nilainya). Beliau membolehkan kita membeli perak dengan emas menurut kehendak kita, serta membolehkan kita membeli emas dengan perak menurut kehendak kita.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Jangan kalian menjual emas dengan emas kecuali sama (timbangan dan ukurannya) dan janganlah kalian menjual perak dengan perak kecuali sama timbangan dan ukurannya. Tidak boleh sebagian melebihi sebagian yang lain dan janganlah kalian menjual sebagian emas dan perak yang tidak ada di tempat dengan kontan.” (Sunan Tirmizi: 1259).
“Bahwa dia bertransaksi dengan Thalhah bin Ubaidillah di Makkah sebesar seratus dinar. Kemudian Thalhah mengambil uang emas tersebut dan mulai dilihat-lihat darinya, kemudian berkata: ‘Tunggu, sampai datang bendaharaku dari hutan’. Saat itu Umar mendengar hal ini, lalu dia berkata: ‘Demi Allah, dia tak boleh berpisah kecuali sampai dia mendatangkan uang tersebut. Karena Rasulullah SAW bersabda: ‘Menjual emas dengan perak akan mengandung riba kecuali bila kontan’ “ (Bukhari: 2174; Muslim: 1586; Tirmizi: 1243; Abu Daud: 3348).

Riba fadhl saat ini banyak diambil dalam praktik jual beli mata uang pada bursa valuta asing (foreign exchange). Praktik di bursa valas dapat dianggap banyak menimbulkan riba fadhl karena fakta jual beli mata uang yang ada di bursa tersebut tidak ada yang dilakukan secara kontan dan serah terimanya juga tidak berada di tempat (Triono, 2003).
Selanjutnya, bagaimana penjelasan keterkaitan antara riba dengan ketidakstabilan ekonomi? Siregar (2001), telah memberi penjelasan tentang dampak dari adanya suku bunga terhadap ketidakstabilan ekonomi tersebut. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Dengan adanya ketentuan suku bunga, maka pinjaman pada perbankan akan memerlukan kepastian pengembalian. Oleh karenanya, peminjaman perbankan hanya akan diberikan kepada peminjam yang memiliki jaminan kredit guna meng-cover pinjaman tersebut dan kecukupan cash flow untuk memenuhi kewajibannya tersebut. Akibatnya, dana bank hanya akan mengalir kepada golongan kaya saja. Sedangkan golongan miskin tidak akan pernah memperoleh bagian pinjaman kredit perbankan.
Fakta selanjutnya menunjukkan bahwa golongan kaya yang memperoleh kredit tersebut umumnya memanfaatkan dana tersebut tidak hanya untuk investasi yang produktif saja, tetapi juga untuk keperluan yang non produktif, seperti untuk conspicius consumption (konsumsi barang lux, yang hanya berguna untuk simbol status), pengeluaran yang tidak bermanfaat, termasuk juga untuk keperluan spekulasi. Hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya ekspansi money demand yang cepat, hanya untuk keperluan konsumsi yang non produktif dan tidak bermanfaat.
Selanjutnya, tingginya konsumsi masyarakat tersebut tentu akan berdampak kepada semakin berkurangnya tabungan masyarakat. Jika tabungan masyarakat semakin rendah, hal itu akan berpengaruh terhadap terjadinya peningkatan suku bunga (interest rate). Apabila suku bunga sering mengalami perubahan, hal itu juga akan mengakibatkan terjadinya ketidakpastian (uncertainty). Tingginya volatility dari suku bunga tersebut akan menyebabkan tingginya ketidakpastian (uncertainty) dalam financial market. Hal itulah yang menyebabkan investor tidak berani melakukan investasi jangka panjang, sehingga hanya akan memilih investasi jangka pendek saja.
Apabila borrower mahupun lender lebih mempertimbangkan investasi jangka pendek saja, maka investasi jangka pendek yang lebih cenderung kepada aktivitas spekulasi akan lebih menarik daripada investasi yang jangka panjang yang lebih produktif. Akibatnya masyarakat akan lebih suka mencari keuntungan (capital gain) dari pasar saham (stock exchange), pasar mata uang asing (foreign exchange) dan aktivitas keuangan derevatif lainnya yang lebih bersifat spekulatif.
Hal inilah yang menyebabkan uang tumbuh dengan cepat pada aktivitas di sektor tersebut. Prof. John Gray dari Oxford University telah mengakui terjadinya hal itu. Dia menyatakan bahwa motif transaksi murni dalam pasar valas telah berubah menjadi perdagangan derivatif yang penuh dengan motif spekulasi. Hanya 5 % dari $ 1,2 triliun per hari transaksi keuangan yang berorientasi kepada sektor riil dan selebihnya (95%) adalah transaksi spekulatif yang tidak mendukung pertumbuhan sektor riil sama sekali (Karim, 2002). Fenomena inilah yang dapat menyebabkan terjadinya bubble economy, yang sewaktu-waktu dapat meletup dan dapat menyebabkan terjadinya krisis ekonomi yang sangat besar.
Tingginya inflasi (hyper inflation) yang menimpa Indonesia pada krisis moneter di tahun 1997-an juga tidak terlepas dari ulah spekulan mata uang di bursa valas tersebut. Akibat adanya spekulasi di bursa valas, nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS. Lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS inilah yang mengakibatkan harga-harga barang impor menjadi sangat tinggi. Indonesia sebagai negara yang mayoritas industrinya masih bergantung pada bahan baku impor, dengan naiknya harga barang impor inilah yang menyebabkan terjadinya inflasi tinggi di Indonesia (Tambunan, 1998).
Bagi negara yang banyak memiliki hutang luar negeri, maka terjadinya depresiasi nilai tukar akan lebih membahayakan ekonominya. Bordo, Meissner & Weidenmier (2006), telah melakukan penelitian terhadap fakta tersebut. Negara yang hutang luar negerinya banyak dalam mata uang asing, sedangkan arus pendapatan terbesarnya dalam mata uang lokal, akan mengalami keadaan yang disebut dengan currency mismatches (ketidaksepadanan mata uang). Ketidaksepadanan mata uang tersebut dapat membuat negara menjadi lebih peka (vulnerable) terhadap terjadinya depresiasi mata uang. Jika mata uangnya mengalami depresiasi secara mendadak, maka kondisi keuangannya akan segera terguncang, yang pada akhirnya dapat menimbulkan krisis keuangan, sebagaimana yang menimpa Asia pada tahun 1997-an.
Dampak dari terjadinya fluktuasi kurs mata uang juga akan lebih banyak merugikan negara-negara yang sedang berkembang. Penelitian yang dilakukan Esquivel dan Larrain (2002), mengungkapkan bahwa setiap kenaikan 1 % nilai tukar mata uang G-3 (Amerika, Jepang dan Jerman) akan menurunkan 2 % nilai ekspor riil negara berkembang. Hasil penelitiannya juga menyebutkan bahwa kenaikan volatilitas nilai tukar dari mata uang negara G-3 tersebut juga menyebabkan terjadinya krisis nilai tukar di negara-negara berkembang.
Dengan demikian, jika kita mau kembali merujuk kepada ketentuan Al Qur’an dan As Sunnah, maka faktor-faktor utama yang dapat menyebabkan terjadinya gejolak nilai mata uang harus ditekan seminimal mungkin. Sebagaimana yang dikehendaki oleh Al Qur’an dan As Sunnah, maka keberadaan transaksi valuta asing yang dilakukan secara tidak kontan dan tidak berada di tempat seharusnya segera dihilangkan, sebab kenyataannya praktik tersebut ternyata telah menumbuhsuburkan spekulasi yang berujung pada terjadinya kegoncangan nilai tukar mata uang, yang dampaknya dapat menghancurkan ekonomi sektor riil, yaitu ditandai dengan tingginya tingkat inflasi.

II. PENUTUP
Uraian yang panjang di atas telah memberi pemahaman kepada kita, bahwa sumber-sumber penyebab utama terjadinya inflasi tidak lain adalah akibat dari transaksi mata uang yang tidak sesuai dengan ketentuan Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karena itu, jika kita ingin mewujudkan stabilitas ekonomi yang relatif lebih permanen, yaitu stabilitas ekonomi yang ditandai dengan rendahnya tingkat inflasi, yang akan lebih mendukung bagi terwujudnya pembangunan ekonomi jangka panjang, maka kita harus berani melakukan langkah-langkah kebijakan yang lebih mendasar, yaitu berupaya menghilangkan masalah sampai kepada sumber-sumber penyebabnya.
Tentu saja semuanya itu akan kembali kepada keyakinan kita. Jika kita masih memiliki keyakinan bahwa Al Qur’an adalah Kitab suci yang berasal dari Allah SWT, demikian juga, jika kita masih yakin bahwa Allah SWT adalah Dzat yang Maha Tahu terhadap apa yang lebih bermanfa’at bagi makhluknya dan apa-apa yang akan membawa kemudharatan, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk meragukan petunjuk dari Allah SWT tersebut. Wallahu a’lam bish-showab.

DAFTAR PUSTAKA

Boediono. 1999. Ekonomi Makro. BPFE. Yogyakarta.


Boediono. 1992. Ekonomi Moneter. BPFE. Yogyakarta. Edisi 3.


Bordo, Michael D., Christopher M. Meissner, Marc D. Weidenmier. Currency Mismatches, Default Risk, And Exchange Rate Depreciation: Evidence From The End Of Bimetallism. Working Paper 12299. National Bureau Of Economic Research. Cambridge. June 2006

Bordo, Michael D., Robert T. Dittmar, William T. Gavin. Gold, Fiat Money, And Price Stability. Working Paper 10171. National Bureau Of Economic Research. Cambridge. December 2003

Chapra, Umar. 2000. Sistim Moneter Islam. Gema Insani Press. Jakarta.

Deliarnov. 1997. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Rajawali Press. Jakarta.

Esquivel, Gerardo and Larrain B, Felipe (2002). The Impact of G-3 Exchange Rate Volatility on Developing Countries. Harvard University Working Paper No. 86.

Humphreys, Ian J. 1997. Pengetahuan Ekonomi untuk Orang Awam. Alih Bahasa: Kencanawati Taniran & Gianto Widianto. Arcan. Jakarta.

Karim, Adiwarman. 2002, Ekonomi Islam – Suatu Kajian Ekonomi Makro, IIIT & Karim Business Consulting, Jakarta.

An-Nabhani, Taqiyyudin. 1990. An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam. Beirut : Darul Ummah. Cetakan IV.

Prayitno, Hadi & Budi Santosa. 1996. Ekonomi Pembangunan. Ghalia Indonesia. Jakarta. Cetakan I.

Sabiq, Sayyid. 1995. Fikih Sunnah. Alih Bahasa: Kamaluddin A. Marzuki. Al-Ma’arif. Bandung.Cetakan 5.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid - An-Nuur. Pustaka Rizki Putra. Semarang. Cetakan II. Edisi II.

Siregar, Mulya E. 2001. Manajemen Moneter Alternatif. Dalam: Dinar Emas - Solusi Krisis Moneter. Penyunting: Ismail Yusanto dkk. Pirac, SEM Institute, Infid. Jakarta.

Tambunan, Tulus. 1998. Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi. Lembaga Penerbit FEUI. Jakarta.

Triono, Dwi Condro. 2003. Pertumbuhan Ekonomi Versus Pemerataan Ekonomi. Irtikaz. Yogyakarta.

Triono, Dwi Condro. Mata Uang Negara Khilafah. Media Politik dan Dakwah Al Wai'e No. 70 Tahun VI. Juni 2006.

KEBIJAKAN EKONOMI UMAR BIN KHATTAB





         ekonomi PENDAHULUAN
Dari mana pembangunan islam dimulai? Pertanyaan ini memberi reaksi bermacam-macam. Maka terjadilah diskusi berkisar Ekonomi, Politik, Ideologi dan sebagainya. Ide ini awalnya adalah hasil diskusi, perbincangan dan perenungan mahasiswa Islam barat. “Limadza taakharul islam wa taqaddama gairihim” ini adalah pertanyaan yang sangat aspiratif dalam membangun islam dari keterpurukan. Salah satu yang berhasil diwujudkan adalah ekonomi, yaitu ekonomi Islam. Ini pun msih berkutat pada perbankan.
KEBIJAKAN EKONOMI UMAR BIN KHATTAB
Dalam aplikasinya kemudian dicarilah rujukan-rujukan ideal, baik yang terdapat dalam syarah kitab-kitab klasik maupun bentuk-bentuk transaksi awal pada zaman rasul dan khulafaurrasyidiin yang terekam dalam hadist maupun riwayat. Dalam kitab-kitab fiqh dapat ditemukan sandaran-sandaran atau prinsip-prinsip ber-mu’amalah yang dijadikan rujukan untuk beberapa produk dalam perbankan syari’ah.
Sebenarnya secara lebih luas kita dapat mempelajari semangat ekonomi islam pada zaman rasul dan para sohabah dalam hal ini khulafaurrasyidiin. Umar bin Kattab salah satu dari empat khalifah yang rasyid telah mempraktikkan ekonomi islam. Karenanya akan menjadi acuan kita dalam melihat kebijakan-kebijakan ekonomi beliau saat itu.
Tentu banyak sisi yang terlihat dalam aktifitas ekonomi Umar. Untuk menghidari pembiasan yang luas, disini penulis hanya melihat kebijakan Ekonomi Umar sebagai seorang khalifah.
Kebijakan ekonomi umar sebagai seorang khalifah tentu bersinggungan dengan - dalam kontek sekarang – kebijakan ekonomi pemerintahan. Keterlibatan pemerintah dalam perekonomian maka pengkajian tentangnya dinamakan pengkajian ekonomi makro. Tepatnya makalah ini akan fokus pembahasanya pada kebijakan ekonomi makro Umar Bin Khattab.
Dalam membahas kebijakan ekonomi makro Umar bin Khattab penulis menggunakan pendekatan tematik. Pendekatan ini penulis anggap cocok karena kita tidak mengusung kisah (histories) umar secara keseluruhan. Akan tetapi kita akan mengambil dan menganalisis tiap-tiap kebijakan Umar yang berkaitan dengan ekonomi.
Bagaimana kebijakan ekonomi makro Umar Bin Khattab? Apa saja kebijakan moneter dan fiskal Umar Bin Khattab adalah urutan permasalahan yang akan dikupas dan dideskripsikan dalam makalah ini.
  1. PEMBAHASAN
Umar bin khattab ketika diangkat menjadi khalifah, beliau mengumumkan kebijakan ekonomi yang akan dilakukannya. Sesungguhnya hak seseorang atas sesuatu tidak perlu diperhatikan selama dalam kemaksiatan. Aku tidak menemukan sesuatu cara terhadap harta ini (kekayaan Negara) dan menjadikan suatukemaslahatan kecuali dengan tiga cara: pertama, Ambil dengan cara yang benar. Kedua, Diberikan sesuai dengan haknya. Ketiga, Mencegahnya dari kebatilan. Beliau melanjutkan bahwa sesungguhnya harta ini bagiku seperti memelihara anak yatim. Kalau aku sudah berkecukupan aku tidak akan memakainya dan apabila aku kekurangan maka aku akan memakainya dengan benar. Itulah dasar Umar kemudian dalam mengatur dan mengurus uang Negara.
Prinsip pertama dapat dimaknakan bahwa Negara tidak akan mengambil harta dari rakyat dengan cara yang tidak benar. Sumbernya adalah sesuatu yang baik dan halal. Jadi kebijakannya adalah cara yang benar dan sumber yang baik. Prinsip yang kedua dapat dijelaskan bahwa Negara menjamin keberlangsungan hidup rakyatnya dengan kekayaannya. Prinsip yang ketiga harta Negara digunakan untuk tujuan yang baik dan benar, bukan untuk partai dan pemilihan kembali.
  1. MEMAHAMI EKONOMI MAKRO
Karena kita akan melihat kebijakan ekonomi Umar bin Khattab dari sisi makronya maka penting terlebih dahulu kita perhatikan batas antara ekonomi mikro dan makro. Kemudian akan kita perhatikan persinggungan ekonomi makro Umar. Tiadak mungkin kita menghindari dari ini karena memang kapasitas Umar sebagai seorang Khalifah, otomatis kebijakannya juga atas nama pemerintah.
Dalam ilmu ekonomi terdapat dua cabang pembahasan yaitu ekonomi makro dan ekonomi mikro. Ekonom makro adalah kajian tentang aktifitas ekonomisuatu Negara, sedangkan kajian tentang aktifitas dan tingkah-laku individual dalam ekonomi dinamakan dengan ekonomi mikro. Ada dua hal yang paling esensial dalam ekonomi makro yaitu Uang (Moneter) dan Pembiayaan (Fiscal):
a. Adanya Uang dalam ekonomi makro, sehingga nominal price menjadi factor kajian penting, sementara ekonomi mikro yang terpenting adalah harga relative (relative price, px/py). Adanya uang inilah yang nantinya akan bersinggungan dengan kajian moneter (ilmu ekonomi moneter).
b. Adanya pembeli dan penjual raksasa dalam ekonomi makro yaitu pemerintah. Persinggungan dengan kemampuan dan prilaku luar biasa pemerintah dalam membelanjakan dan menabung uangnya nantinya akan menghasilkan cabang ilmu ekonomi fiscal.
Ekonomi makro ini akan kita diskusikan kedepan berkisar antara kebijakan Umar tentang moneter dan pendapatan serta pembiaayaan kas Negara (fiscal) tentu dalam bentuk yang sederhana. Kesederhanaan itu disebabkan saat itu segalanya masih manual, belum terbentuk instrument moneter seperti sekarang yang komplek dan canggih. Selain itu media uang masih menggunakan kepingan emas dan perak sehingga perputarannya sangat terbatas.
  1. UPAYA KE ARAH KEBIJAKAN MONETER
  1. Definisi Uang
Uang adalah alat tukar atas barang dan jasa dalam pasar ekonomi dengan beberapa pembayaran tunda.
Ahmad Hasan membedakan antara mata uang dengan uang. Mata uang adalah setiap sesuatu yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan memberinya kekuatan hokum yang bersifat dapat memenuhi tanggungan dan kewajiban serta diterima oleh kalangan luas. Sementara uang lebih umum dari mata uang karena mencakup yang serupa dengan uang seumpama surat bank.
Secara etimologi uang dapat diartikan kedalam beberapa makna yaitu:
    • Al-Naqdu: yang baik dari dirham “dirhamun naqdun”.
    • Al-Naqdu: meraih dirham “naqada daraahima yanquduha naqdan” yakni meraih, menggenggam atau menerima.2

Kata-kata nuqud tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Haditts Nabi. Karena bangsa arab pada umumnya tidak menggunakan kata nuqud untuk menunjukkan harga. Mereka menggunakan Dinar untuk menunjukkan mata uang yang terbuat dari emas. Kata dirham untuk menunjukkan alat tukar yang terbuat dari perak. Nama lain untuk mata uang perak adalah Wariq dan ‘Ain untuk menunjukkan mata uang dari emas. Sedangkan Fulus (uang tembaga adalah alat tukar tambahan yang digunakan untuk membeli barang-barang yang relatif murah). Sementara Dinar, Dirham, dan Wariq terdapat sebutannya dalam Al-Qur’an (Qs. 3 : 75)
  1. Instrumen Moneter
Dalam ilmu ekonomi modern terdapat empat macam instrument moneter3:
    • Operasi Pasar (Open Market Operatian) yaitu upaya untuk mempengaruhi jumlah uang beredar dengan cara menjual obligasi pemerintah dan sekuritas pemerintah lainnya.
    • Tingkat Diskonto (Discount Rate) yaitu upaya penarikan atau pelepasan uang ke pasar dengan cara pemerintah menetapkan suku bunga.
    • Ketentuan cadangan minimum (Reserve Requirement) dengan kebijakan ini diharapkan bank tidak lagi melepaskan kreditnya ke pasar.
    • Himbau moral.

  1. KEBIJAKAN MONETER UMAR BIN KHATTAB
Sebenarnya upaya kearah yang modern telah dimulai oleh Umar, malah cikal bakalnya sudah terlihat sejak zaman Rasulullah. Untuk operasi pasar, Umar telah melaksanakan sendiri tatkala memerintahkan pegawai Baitul Mall untuk zakat, jizya, Kharaj, ‘usyur dan lain-lain. Konsekwensinya pemerintah akan menyerp dinar dan dirham ke dalam kas Negara (devisa) dan dapat digunakan untuk pembiayaan fiscal.
Kebijakan moneter Umar diantaranya seperti gagasan spektakulernya tentang pembuatan uang dari kulit unta agar lebih efisien4. Stabilitas nilai tukar emas dan perak terhadap mata uang dianar dan dirham. Penetapan nilai dirham, Instrument noneter, control harga barang dipasar dan lain sebagainya.
Mengenai pencetakan uang dalam islam terjadi perbedaan pendapat. Namun riwayat yang tebanyak dan masyhur menjelaskan bahwa Malik bin Marwan-lah yang pertama mencetak dirham dan dinar dalam Islam.
Sedangkan dalam riwayat lain menyebutkan Umar yang pertam kali mencetak diraham pada masanya. Tentang hal ini Al-maqrizi mengatakan, ketika Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah dia menetapkan uang dalam kondisinya semula dan tidak terjadi perubahan satupun pada masanya hingga tahun18 H. Dalam tahun ke-6 kekhalifahannya ia mencetak dirham ala ukiran Kisra dan dengan bentuk yang serupa. Hanya saja ia menambahkan kata alhamdulillah dan dalam bagian yang lain dengan kata rasulullah dan pada bagian yang lain lagi dengan kata lailahillallah, sedangkan gambarnya adalah gambar Kisra bukan gambarnya Umar5.
Namun dalam riwayat Al-Baihaqi diriwayatkan, ketika Umar melihat perbedaan antara dirham bighali dengan nilai delapan daniq, dan ada dirham thabary senilai empat daniq, diraham yamani dengan nilai satu daniq. Ketika ia melihat kerancuan itu, kemudian ia menggabungkan dirham islam yang nilainya enam dhraiq. Dan masih banyak riwayat yang lain menerangkan bahwa Umar telah mencetak mata uang islam6. Hal ini juga dapat dianalogikan bahwa Umar telah mencetak mata uang islam ketika ia melontarkan berkeinginan untuk mencetak uang dari kulit unta agar lebih efisien, karena khawatir unta akan habis dikuliti maka niat itu diurungkan. Ide ini juga menjadi dasar-dasar menegement moneter.
Umar juga mengambil tanah-tanah yang tidak digarap untuk dibagikan kepada yang lain untuk digarap agar tanah itu membawa hasil.
Selain Baitul Mall Umar juga menggunakan Hisbah sebagai pengontrol pasar. Umar sendir sangat sering turun ke pasar untuk mengecek harga-harga barang agar tidak ada kecurangan. Suatu ketika Umar pernah memarahi Habib bin Balta’ah yang menjual kismis terlalu murah, maka Umar memerintahkan untuk menaikkan harga agar orang lain pun dapat melakukan jual beli7. Umar tidak pernah menahan kekayaan Negara, semuanya didistribusikan kepada rakyat sehingga peredaran uang terjadi dalam masyarakat. Umar mengawasi harga barang di pasar sehingga tidak terjadi monopoli, oligapoli dan sebagainya. Kebijakan ini merupakan upaya pelepasan uang kedalam masyarakat untuk ketersediaan modal kerja.
Semangat pengotrolan cadangan dalam kas Baitul Mall suadh mulai dieperhatikan pada masa ini. Baitul Mall mungkin lebih cocok disebut Bank Sentral atau Bank BI dalam kontek Indonesia. Baitul Mall bertugas untuk mengumpulkan, menyimpan dan menyalurkan devisa Negara. Kekeyaan itu berasal dari berbagai sumber diantaranya zakat, jizyah, kharaj, ‘usyur, khumus, fai, rikaz, pinjaman dan sebagainya.
Himbauan sebagai salah satu instrument moneter. Instrument ini lazim digunakan Umar dalam mengatrol kesetabilan ekonomi Negara. Umar mengawasi segala bentuk pembayaran keluar-masuk kas Negara. Umar sering menegur para gubernur agar kutipan kharaj, jizyah, ‘usyur dilakukan dengan benar. Umar tidak membenarkan penyiksaan atau penjara kepada orang yang memang benar tidak sanggup membayar jizyah. Hukuman boleh dilaksanakan apabila terjadi pengingkaran atau sengaja memperrlambat pembayaran. Terhadap ini Umar sangat keras.
Stiap pendapatan berupa ganimah, rikaz, fai, ‘usyur sebagian dikirim ke pusat (Madinah). Pengawasan moneter ala Umar ini sangat ketet sehingga tidak ada penimbunan uang dan barang. Selain itu Valuta asing dari Persia (dirham) dan Romawi (dinar) dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab telah menjadi alat pembayaran resmi. Sistem devisa bebas diterapkan tidak ada halangan sedikitpun mengimpor dinar atau dirham.
Lebih jauh Umar juga sudah mulai memperkenalkan transaksi tidak tunai dengan mengguanakan cek dan promissory notes. Umar juga menggunakan instrument ini untuk mempercepat distribusi barang-barang yang baru diimpor dari mesir dan madinah8.
  1. KEBIJAKAN DAN INSTRUMEN FISKAL
Kekuatan fiscal suatu Negara tergantung pada kekuatan devisa yang dihasilkan. Fiskal akan berhubungan dengan kebijakan Pendapatan, Belanja, Utang dan Investasi Negara. Kekuatan sebuah Negara dapat diamati dari struktur APBN. Dalam Islam struktur arus keluar-masuk devisa sudah dikenal sejak zaman Rasulullah dan tetap dipertahankan oleh Umar dengan penyempurnaan-penyempurnaan. Penyempurnaan tidak lain terjadi karena perkembangan masyarakat islam yang luar biasa. Struktur pembiayaan fiscal dan penerimaannya pada saat itu mencakup9:
Penerimaan
Pengeluaran
Zakat (Harta)
Kharaj (Pajak Tanah)
Jizyah (Pajak Jiwa)
Khumus (1/5 Ghanimah)
Usyur (Bea Cukai)
Fai (Penguasaan tanpa perlawanan)
Ghanimah / Anfal (Rampasan)
Pinjaman Sememntara (Utang)
Penyebaran Islam
Pendidikan dan kebudayaan
Pengembangan ilmu Pengetahuan
Pengembangan infrastruktur
Pembangunan Armada perang dan keamanan
Biaya Moneter (Cetak Uang)
Gaji pejabat dan Pegawai
Pengembangan ke-Qadhi-an (Kehakiman)
Pembangunan Administrasi negara
Layanan Sosial, Hadiah dan Bonus
  1. Kebijakan Fiskal
Baitul Mall adalah lembaga pengelolaan keuangan Negara sehingga kebijakan fiscal dengan jelas dapat kita pahami. Kebijakan fiscal Baitul Mall telah memberikan dampak positif terhadap tinkat investasi, penawaran agregat dan sekaligus berpengaruh kepada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Seiring dengan perluasan islam sampai ke Iraq dan Mesir maka pemasukan ghanimah, fai dan lain-lain semakin meningkat. Umar kemudian menetapkan pos-pos pemasukan seperti kharaj dari Iraq. Hal ini terjadi pada masa Umar. Umar juga yang pertma kali mentransfer pemasukan zakat dari daerah kepusat seperti yang terjadi pada Mu’az bin Jabal mengirimkan zakat dari Yaman ke Madinah dan Umar menolaknya. Walaupun pada akhirnya Umar menerimanya karena di Yaman tidak ada lagi mustahiq zakat.
Beberapa laporan tentang keberhasilan kebijakan fiscal Umar dapat kita ketahui dalam sejarah10:
    • Saat itu jarang terjadi Angaran devisit. Kecuali hanya sekali pada tahun “Ramadah” kira-kira tahun ke-18 H. Saat itu terjadi terjadi kekeringan di sebagian Negara islam akan tetapi dapat diatasi dengan bantuan makanan dari wilayah lain. Lama masa “ramadah” ada yan meriwayatkan 9 bulan, 1 tahun dan ada yang mengatakan sampai 2 tahun.
    • Sistem pajak proposional (prorposional tex). Umar bin Khattab memungut pajak (Jizyah) dari penduduk Syam dan Mesir yang kaya sebesar 4 dinar dan bagi mereka yang penghidupannya menengah diambil 2 dinar sementara bagi mereka yang miskin tetapi berpenghasilan dikutip 1 dinar. Jadi pajak tidak ditentukan pun dapat memenuhi kehidupannya. Terhadap penduduk Iraq diwajibkan membayar jizyah sebesar 48 dirham bagi yang kaya, 24 dirham bagi kalangan menengah dan 12 dirham bagi kalangan miskin berpenghasilan. Lebih jelasnya dapat diperhatikan table berikut:
Klsifikasi wajib pajak
Dinar (4,25 g)
Emas (gram)
Golongan kaya
4
17,00
Golongan menengah
2
8,50
Golongan miskin berpengasilan
1
4,25

Rotasi perhitungan jizyah dalam satu tahun dimulai pada awal bulan Muharram dan ditutup ahkhir bulan Dzulhijjah, hingga selesai penarikan sebelum datangnya bulan Muharram berikutnya. Tiga bulan terakhir adalah untuk ancang dan penyempurnaan perhitungan sehingga genap satu tahun.
    • Besarnya Kharaj (pajak tanah) ditentukan berdasarkan produktifitas lahan, bukan berdasarkan zona. Produktifitas lahan diukur dari tingkat kesuburan lahandan irigasi. Jadi sangat memungkinkan dalam satu wilayah atau areal yang berdekatan akan berbeda jumlah kharaj yang akan dikeluarkan. Kebijakan ini menyebabkan pengusaha kecil yang kurang produktif masih dapat melanjutkan usahanya. Kharaj ada dua macam, yaitu Kharaj ‘Unwah (pajak paksa) kharaj ini berasal dari lahan orang kafir yang dikuasai oleh kaum muslim secara paksa (peperangan) seperti tanah di Iraq, Syam, Mesir. Umar tidak membatalkan kharaj tanah itu meskipun pemiliknya sudah masuk Islam. Kedua, Kharaj Sulhu (pajak damai) kharaj ini diambil dari tanah dimana pemiliknya telah menyerahkan diri kepada kaum muslimin (berdasarkan perjanjian) damai. Umar telah mengutus Utsman bin Hanif dan Huzaifah bin Nukman untuk melakukan pengukuran tanah-tanah gembur (hitam) dan menetapkan besar kharaj. Setelah menetapkan kriteria tanah yang wajib pajak berdasarkan jenis tanah, jenis tnanaman, proses pengelolaan dan juga hasil akhir, kemudian Umar menetapkan kharaj setiap satu jarib11 gandum basah 2 diham, setiap satu jarib kurma yang baru matang 4 dirham, 4 dirham dari satu jarib jagung basah dan 8 dirham untuk setiap satu jarib kurma kering, 6 dirham untuk setiap satu jarib tebu, anggur 10 dirham, zaitun 12 dirham.
    • Progresseve rate adalah penurunan jumlah pajak bertambahnya jumlah ternak. Hal ini akan mendorong orang untuk memperbanyak ternaknya dengan biaya yang lebih rendah.
    • Perhiungan zakat perdagangan berdasarkan besarnya keuntungan bukan atas harga jual.
    • Porsi besar untuk pembangunan infrastruktur. Umar bin Khattab mendirikan kota dagana yang besar yaitu Basrah (gerbang untuk perdagangan dengan Romawi) dan Kufah (sebgai pintu masuk perdagangan dengan Persia). Khalifah Umar juga membangun kanal dari Fustat ke Laut Merah sehingga orang yang membawa gandum ke Mesir tidak perlu lagi memakai unta karena sekarang mereka bias langsung menyeberang sungai Sinai ke Laut Merah.
    • Managamen yang baik. Penerimaan Baitul Mall pada masa Umar bin Khattab pernah mencapai 180 juta dirham. Umar juga membuat jaringan yang baik dengan Baitul Mall yang ada didaerah.

  1. Instrumen Fiskal
    • Peningkatan pendapatan dan partisifasi kerja. Umar selalu memantau pendapatan dan hak-hak pada Baitul Mall. Ia juga memantau tanah-tanah garapan agar tidak ada yang terbengkalai. Pendistribusian harta dengan cara ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya akan meningkatkan permintaan agregatif.
    • Pemungutan pajak. Kebijakan ini berhasil menciptakan stabilitas harga dan mengurang inflasi. Pada saat stagnasi, menurunnya permintaan dan penawaran agregat, pemerintah dapat mendorongnya dengan pajak Khumus. Dengan kebijakan ini harga tetap stabil dan produksi tetap berjalan.
    • Pengaturan anggaran. Pengaturan anggaran yang cermat dan proporsional menjaga keseimbangan tidak akanterjadi budget deficit malah surplus.

  1. Anggaran Pendapatan Negara
Sumber-sumber pendapatan saat itu tidak terbatas hanya pada zakat saja akan tetapi masih banyak pendapatan lain yang dapat mengisi pundi-pundi Baitul Mall. Sisi permintaan Negara saat itu adalah:
    • kharaj (pajak tanah) seperti yang telah diuraikan di atas. Yang menentukan jumlah besaran pajak adalah: karkteristik tanah (tingkat kesuburan), jenis tanaman dan irigasi
    • Zakat terkumpul dalam beberapa bentuk, ada yang berupa uang; dinar dan dirham, biji-bijian, ternak, perak dan emas. Zakat yang dibayarkan sangat berfariasi karena sumbernya berbeda-beda. Biji-bijian dari petani, ternak dari peternak dan uang, emas dari zakat perdagangan.
    • Khumus (20% atau 1/5) dari harta rampasan perang (ghanimah).
    • Jizyah adalah pajak jiwa bagi orang yang non muslim (ahluzzimmah) sebagai pengganti zakat fitrah. Besaran kewajiban diklasifikasikan menurut kualitas dan kapasitas seseorang. Semua ini ditentukan dengan baik dan benar.
    • Usyur (bea cukai) 1/10 atas barang dagangan pedagang yang melewati wilayah muslim dan ¼ saja dari 1/10 atas orang muslim12.
    • Rikaz juga dikenakan 10%. Rikaz ini kadang-kadang dikelompokkan kedalam ‘Usyur, adalah barang tambang atau apa saja yang ditemukan dalam perut bumi seperti harta karun.

  1. Belanja Pemerintah
Efisiensi dan efektifitas merupakan landasan pokok dalam kebijakan pengeluaran pemerintah. Dalam Islam hal itu dipandu olehkaidah-kaidah syariah yaitu kemaslahatan dan penentuan skala prioritar13. Berikut acuannya dapat kita perhatikan:
    • Pengeluaran demi pemenuhan kebutuhan hajat masyarakat banyak.
    • Pengeluaran sebagai alat retribusi kekayaan.
    • Pengeluaran yang mengarah kepada bertambahnya permintaan-permintaan efektif.
    • Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
    • Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan inetrvensi pasar.

Dengan demikian pada Baitul Mal sebenarnya juga dapat kita perhatikan kebijakan dalam pengalokasian belanja pada masa Umar. Pos pengeluarannya diarahkan kepada empat belas bagian:
    • Belanja kebutuhan operasional pemerintah (dar al-khalifah)14 termasuk upacara kemerdekaan.
    • Belanja Penunjang Wilayah (masalih ad-daulah) termasuk kebutuhan administrasi surat-menyurat.
    • Biaya pembangunan kota Basrah dan Kufah.
    • Pergantian mata uang (biaya moneter).
    • Belanja pegawai Negara.
    • Biaya utang tanggungan Negara.
    • Belanja umum yang berkaitan dengan infrastruktur (penggalian teluk)
    • Biaya fasilitas kehakiman.
    • Biaya santunan kepada kerabat rasul dan lain-lain.
    • Belanja jihad (militer, persenjataan dan lain-lain).
    • Biaya perluasan Masjid Haram dan kelambu Kiswah oleh Umar, lampu penerangan masjid.
    • Biaya penyimpanan harta zakat.
    • Biaya penjagaan dan penyimpanan harta umum.
    • Biaya pengurus urusan darurat (At-Tawary).

Urutan pembiayaan jika dilihat dari skala prioritas, pembiayaan yang berhubungan dengan kemasyarakatan dapat kita deskripsikan sebagai berikut15:
Primer
Skunder
Biaya Pertahanan
Penyaluran ‘Usyur kepada mustahiq
Membayar gaji pegawai, guru, imam, qadhi, muadzin, dan pejabat Negara
Infrastruktur (gali teluk)
Biaya fasilitas kehakiman
Biaya pencetakan dirham baru (biaya moneter)
Lampu penerang Masjid
Membayar upah sukarelawan
Membayar utang Negara
Bantuan Imergensi dan musafir
Beasiswa yang belajar ke Madinah
Hiburan untuk delegasi asing, biaya perjalanan
Hadiah untuk pemerintah Negara lain (Masa rasul)
Membayar denda atas mereka yang mati terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan Islam
Pembayaran utang orang Islam yang meninggal dalam keadaan miskin
Pembayaran tunjangan untuk orang miskin
Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah
Persediaan darurat

Umar juga memberikan upah pegawai yang diambl dari kas Negara (Baitul Mall). Untuk gubernur Basrah dan para stafnya perhari diberikan dua ekor kambing yang disembelih satu pada pagi hari dan satu lagi pada sore hari. Mereka memakan dagingnya dan meminum kuahnya. Itulah gaji mereka. Meskipun penulis tidak mendapatkan penjelasan tentang tunjangan tamabahan kepada Abu musa selain 2 ekor kambing setiap hari. Penulis yakin ada tunjangan lain seperti hadiah. Sebab gubernur-gubernur yang lain seperti Ustman bin Hanif mendapatkan 5 dirham setiap hari dan hadiah-hadiah. Untuk petugas pajak ditanah Iraq adalah ¼ kambing dan 5 dirham setiap hari dan hadiah-hadiah lainnya. Abdullah bin Mas’ud 100 dirham perbulan dan ¼ kambing setiap hari.
Ada dua kebijakan yang selalu dilakukan Rasul, Khulafaurrasyidin termasuk Umar bi Khattab dalam mengelola belanja pemerintah yaitu pertama, mendorong masyarakat untuk beraktifitas ekonomi baik secara sendiri-sendiri atau kelompok tanpa bantuan Baitul Mall. Kedua, tindakan atau kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dengan bantuan dana Baitul Mall.
Inilah garis-garis besar pengeluaran pemerintah umar yang berdasarkan pada kemaslahatan umum dan skala prioritas. Semua pengeluaran yang diambil dari Baitul Mall atas perintah dan sepengetahuan Umar. Begitulah detil dan ketatnya penjagaan Umar terhadap harta kaum muslimin sehingga tidak ada hak-hak mereka yang tertunda apalagi tidak kebagian. “Harta itu bagiku seperti anak yatim” kata Umar bin Khattab dalam pidatonya saat pengangkatannya sebagai khalifah.

DAFTAR RUJUKAN

Adi warman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada (Jakarta: 2008)

Adi Warman A. Karim, Ekonomi Islam; Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani (Jakarta: 2001)
Adula Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khalifah, Pustaka Thariqul Izzah (Bogor: 2002)
Ahmad hasan, Mata Uang dalam Islam; Tela’ah Konperhensif Sistem Keuangan Islam, terj. Saifurrahman Barito dan Zulfakar Ali, Rajagrafindo Persada (Jakarta: 2005)
Eko Suprayitno, Ekonomi Islam; Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Graha Ilmu (Yogyakarta:2005),
N regori Mankiw, Pengantar Ekonomi, edisi kedua, jil.II, terj. Haris Munandar, Erlangga (Jakarta : 2003)
Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Fiqih Ekonomi Umar bin Khattab, terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Khalifa (Jakarta : 2006)
Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab, terj. Ahmad Syarifudddin Shaleh, Pustaka Azzam (Jakarta: 2002)
)
1 Mahasiswa Pascasarjana Progran Studi Hukum Islam Konsentrasi Keuangan dan Perbankan Syari’ah UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta, Makalah disampaikan dalam Mata Kuliah Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam. Tanggal 21 Oktober 2009.
2 Ahmad hasan, Mata Uang dalam Islam; Tela’ah Konperhensif Sistem Keuangan Islam, terj. Saifurrahman Barito dan Zulfakar Ali, Rajagrafindo Persada (Jakarta: 2005), hal.1
3 N regori Mankiw, Pengantar Ekonomi, edisi kedua, jil.II, terj. Haris Munandar, Erlangga (Jakarta : 2003), hal. 23. lihat Adi Warman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, Rajagrafindo Persada (Jakarta : 2007) hal. 217
4 Gagasan ini tidak dilaksanakan karena dikhawatirkan unta akan habis dikuliti. Lihat Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Fiqih Ekonomi Umar bin Khattab, terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Khalifa (Jakarta : 2006), hal. 336
5 Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Fiqih Ekonomi Umar bin Khattab, hal. 334
6 Alasan lain bahwa dapat saja Umar mencetak bighali sebab pada waktu itu Persia telah ditaklukkan karenanya rumah percetakan uang, pabrik kapal dan lain sebagainya yang sebelumnya dibawah kekuasaan Bizantium. Ini adalah penjelasan lanjutan dalam catatan kaki Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi dari Amir Shalih dalam kitabnya An-Nuzhum al- Iqtishadiyah fi Mishra wa As-Syam, hal. 274, dalam Jaribah hal. 335
7 Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, 612
8 Adi Warman A. Karim, Ekonomi Islam; Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani (Jakarta: 2001) hal. 28
9 Adi Warman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hal. 48-51
10 Ibid,; 274
11 Jarib adalah ukuran tanah kira-kira 1 jarib = 36,96 m x 36,96 m. maka satu jarib seluas 1366 m persegi. Lihat Adula Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khalifah, Pustaka Thariqul Izzah (Bogor: 2002 hal. 53
12 Menurut riwayat yang pertama kali membayar ‘Usyur dari kaum kafir kepada kaum muslim adalah penduduk Ming. Mereka menulis surat kepada Umar bin Khattab “biarlah kami memasuki tanahmu untuk berdagang dan ambillah pajak cukai (‘usyur)”. Lalu Umar bermusyawarah dengan para sahabat dan menyetujui pengambilan ‘Usyur tersebut. Lihat Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab, terj. Ahmad Syarifudddin Shaleh, Pustaka Azzam (Jakarta: 2002), hal. 100.
13 Eko Suprayitno, Ekonomi Islam; Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Graha Ilmu (Yogyakarta:2005), hal. 168
14 Khalifah Umar diberikan gaji 16.000 dirham dalam setahun, inipun setelah bermusyawarah dengan sahabat. Tunjangan ini diberikan agar beliau bias focus di pemerintahan yang selama ini beliau juga berdagang. Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab, hal. 128
15 Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal. 51