I made this widget at MyFlashFetish.com.

Jumat, 29 Januari 2010

ACFTA TOLAK SAJA!!!!!

“TOLAK ACFTA
Sesuai dengan rencana, sebagai perwujudan dari perjanjian perdagangan bebas antara enam negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam) dengan China yang disebut dengan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), mulai Januari 2010 telah dilaksanakan. Itu artinya, mulai saat itu di antara negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia dan China harus membuka pasar dalam negeri secara luas. Meski disebut-sebut akan ada banyak keuntungan yang bakal diraih dari perdagangan bebas ini, seperti bakal meningkatnya ekspor ke Cina dan negara-negara ASEAN dan meningkatnya penanaman modal di Indonesia, tapi munculnya sejumlah mudharat sudah di depan mata, yakni: Pertama: serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi rakyat. Sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina (Bisnis Indonesia, 9/1/2010). Kedua: pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga 25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar (Bisnis Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah bersikap pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil. Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010. Ketiga: karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia? Keempat: jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Data menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesia mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yang memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya. Kelima: peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang. Jelas sekali, pasar bebas merupakan bagian dari paket liberalisasi ekonomi dengan ciri utamanya berkurangnya peran dan tanggungjawab pemerintah dalam sektor ekonomi, kemudian menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme pasar (kekuatan penawaran dan permintaan).  Pandangan ini jelas bertentangan dengan Islam dilihat dari tiga aspek: Pertama, dihilangkannya peran negara dan pemerintah di tengah-tengah masyarakat, yang notabene harus berperan dan bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyatnya. Kedua, perdagangan bebas, dimana seluruh pemain dunia, bisa bermain di dalam pasar domestik tanpa hambatan, tanpa lagi dilihat apakah pemain tersebut berasal dari Dar al-Harb Fi’lan atau tidak, juga jelas bertentangan dengan Islam. Sebab, Islam memandang perdagangan internasional tersebut berdasarkan pelakunya; jika berasal dari Dar al-Harb Fi’lan, seperti AS, Inggeris, Perancis, Rusia, dsb, jelas haram. Ketiga, perdagangan bebas, dari aspek kebebasan masuknya investasi dan dominasi asing di dalam pasar domestik, jelas menjadi sarana penjajahan yang paling efektif, dan membahayakan perekonomian negeri ini. Karena itu, jelas sekali Perjanjian perdagangan bebas seperti ACFTA merupakan bentuk penghianatan terhadap rakyat yang seharusnya dilindungi dari ketidakberdayaan ekonomi.. Berkenaan dengan hal itu, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan: 1.      Menolak ACFTA dan seluruh implementasinya karena secara pasti itu akan menimbulkan mudharat sebagaimana disebut di atas, serta bertentangan dengan ketentuan syariah tentang peran dan tanggung jawab negara untuk melindungi dan mengurusi kepentingan rakyatnya. 2.      ACFTA merupakan bukti kesekian kali dari bagaimana kekuatan kapitalisme global tak henti dengan berbagai cara terus berusaha melanggengkan dan mengokohkan dominasi atas dunia Islam khususnya, dan negara-negara lemah pada umumnya demi kepentingan politi dan ekonomi mereka. 3.      Menyerukan kepada umat Islam dan seluruh rakyat Indonesia untuk bergerak bersama berjuang merubah sistem ekonomi kapitalis menjadi sistem Islam karena sesunguhnya Islam menawarkan kepada umat suatu sistem ekonomi yang dapat membangun kemandirian negara sekaligus menjamin berkembangnya industri dalam negeri serta sektor ekonomi lainnya. Negara juga wajib mengatur ekspor dan impor barang sehingga betul-betul bisa mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Sebab, kewajiban negara untuk menjadi pelindung bagi rakyatnya. Wassalam, Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto Hp: 0811119796 Email: Ismaily@telkom.net

“TOLAK ACFTA“


Sesuai dengan rencana, sebagai perwujudan dari perjanjian perdagangan bebas antara enam negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam) dengan China yang disebut dengan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), mulai Januari 2010 telah dilaksanakan. Itu artinya, mulai saat itu di antara negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia dan China harus membuka pasar dalam negeri secara luas.
Meski disebut-sebut akan ada banyak keuntungan yang bakal diraih dari perdagangan bebas ini, seperti bakal meningkatnya ekspor ke Cina dan negara-negara ASEAN dan meningkatnya penanaman modal di Indonesia, tapi munculnya sejumlah mudharat sudah di depan mata, yakni:
Pertama: serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi rakyat. Sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).
Kedua: pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga 25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar (Bisnis Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah bersikap pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil. Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010.
Ketiga: karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia?
Keempat: jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Data menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesia mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yang memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.
Kelima: peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang.
Jelas sekali, pasar bebas merupakan bagian dari paket liberalisasi ekonomi dengan ciri utamanya berkurangnya peran dan tanggungjawab pemerintah dalam sektor ekonomi, kemudian menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme pasar (kekuatan penawaran dan permintaan).  Pandangan ini jelas bertentangan dengan Islam dilihat dari tiga aspek:
Pertama, dihilangkannya peran negara dan pemerintah di tengah-tengah masyarakat, yang notabene harus berperan dan bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyatnya. Kedua, perdagangan bebas, dimana seluruh pemain dunia, bisa bermain di dalam pasar domestik tanpa hambatan, tanpa lagi dilihat apakah pemain tersebut berasal dari Dar al-Harb Fi’lan atau tidak, juga jelas bertentangan dengan Islam. Sebab, Islam memandang perdagangan internasional tersebut berdasarkan pelakunya; jika berasal dari Dar al-Harb Fi’lan, seperti AS, Inggeris, Perancis, Rusia, dsb, jelas haram.
Ketiga, perdagangan bebas, dari aspek kebebasan masuknya investasi dan dominasi asing di dalam pasar domestik, jelas menjadi sarana penjajahan yang paling efektif, dan membahayakan perekonomian negeri ini. Karena itu, jelas sekali Perjanjian perdagangan bebas seperti ACFTA merupakan bentuk penghianatan terhadap rakyat yang seharusnya dilindungi dari ketidakberdayaan ekonomi..
Berkenaan dengan hal itu, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:
1.      Menolak ACFTA dan seluruh implementasinya karena secara pasti itu akan menimbulkan mudharat sebagaimana disebut di atas, serta bertentangan dengan ketentuan syariah tentang peran dan tanggung jawab negara untuk melindungi dan mengurusi kepentingan rakyatnya.
2.      ACFTA merupakan bukti kesekian kali dari bagaimana kekuatan kapitalisme global tak henti dengan berbagai cara terus berusaha melanggengkan dan mengokohkan dominasi atas dunia Islam khususnya, dan negara-negara lemah pada umumnya demi kepentingan politi dan ekonomi mereka.
3.      Menyerukan kepada umat Islam dan seluruh rakyat Indonesia untuk bergerak bersama berjuang merubah sistem ekonomi kapitalis menjadi sistem Islam karena sesunguhnya Islam menawarkan kepada umat suatu sistem ekonomi yang dapat membangun kemandirian negara sekaligus menjamin berkembangnya industri dalam negeri serta sektor ekonomi lainnya. Negara juga wajib mengatur ekspor dan impor barang sehingga betul-betul bisa mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Sebab, kewajiban negara untuk menjadi pelindung bagi rakyatnya.
Wassalam,
Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia

Muhammad Ismail Yusanto
Hp: 0811119796 Email: Ismaily@telkom.net

Senin, 25 Januari 2010

Skandal Bank Century, Kegagalan Sistem Pemerintahan

Monday, 25 January 2010
Tangerang Selatan-Penyelesaian kasus Bank Century, terus menjadi topik hangat setiap aksi unjukrasa, seperti yang dilakukan oleh Mahasiswa yang tergabung dalam Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) UIN Syarif Hidayatullah, Jumat (22/01) menggelar aksi unjukrasa dengan mengangkat isu penyelesaian Bank Century.

Aksi yang digelar di depan Kampus UIN Syarif Hidayatullah Ciputat ini, diikuti sekitar  kurang lebih ratusan mahasiswa, dipimpin oleh Ali Abdurrahman, Ketua Badan Eksekutif BKLDK UIN Syarif Hidayatullah. Dalam pernyataan sikapnya BKLDK, menyerukan kepada seluruh komponen rakyat untuk segera meninggalkan Pemerintahan ini dan tidak lagi mempercayai perkataan mereka beserta sistemnya sebab hanya berakhir dengan kekecewaan. Perampokan uang rakyat sebesar 6,7 triliun yang dilakukan oleh pejabat negara merupakan bukti bahwa Negara ini tidak peduli dengan nasib rakyat yang sudah sekarat.

Selain itu BKLDK mengajak kepada seluruh komponen rakyat untuk menolak segala bentuk pengaruh asing yang kejam dan ganas. Pemberian Bail Out kepada sektor swasta merupakan resep standar dari Washington Consensus yang menjadi rumus standar IMF dalam menyelesaikan permasalahan modal swasta, yaitu negara harus menanggung beban pembiayaan dan permodalan bagi sektor swasta yang bangkrut.

Ali Abdurrahman, usai melakukan unjukrasa mengungkapkan bahwa satu-satunya pilihan hidup bagi seluruh rakyat saat ini adalah menghentikan penerapan ekonomi kapitalisme yang menyengsarakan. “Kita bukan hanya sekedar meminta kasus Bank Century diselesaikan, namun juga meminta agar sistem perekonomian Indonesia diganti dengan sistem ekonomi yang membawa rahmat bagi sekalian alam, yaitu sistem ekonomi Islam, karena jika diibaratkan dengan kebocoran rumah, kita bukan hanya membenahi lantai yang terkena airnya saja, tapi kita harus melakukan renovasi pada pusat bocor yaitu atapnya”, papar Ali.

Ali Abdurrahman berpendapat bahwa Sistem sekuler dan rezim korup yang tengah berkuasa memang tidak bisa dipercaya, “Sebagai gantinya harus tegak sistem Islam dengan penguasa yang amanah dan diterapkan secara kaffah oleh seorang Khalifah”, tambahnya.

Selain melakukan orasi pengunjukrasa juga menggelar spanduk dan poster yang bertuliskan antara lain :
Aksi Keprihatinan Nasional Century Gate Sinyal Kematian Kapitalisme, Selamatkan Dengan Islam.
Century Gate Bukti Kebobrokan Sistem Kapitalisme.
Bersihkan Indonesia Dari Rezim Korup. (indonesiabicara 23/1/2010,dk.com)

Pernyataan Sikap BADAN KOORDINASI LEMBAGA DAKWAH KAMPUS “CENTURY GATE: SINYAL KEMATIAN INDONESIA, SELAMATKAN DENGAN ISLAM!!”



ImageIndonesia adalah negeri kaum muslimin yang kaya raya. Potensi alam yang dimilikinya seharusnya bisa menjadikan rakyat Indonesia makmur dan sejahtera. Tapi apa yang terjadi? Justru sebaliknya. Bukannya kemakmuran dan kesejahteraan, tapi kesulitan dan penderitaan yang dialami oleh mayoritas rakyat Indonesia kian hari kian kritis dan kronis.

Masalah kronis yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah akibat salah dalam pengambilan pijakan konsep ketatanegaraan. Dan masalah inilah yang melahirkan banyak sekali masalah cabang dalam ranah kehidupan nyata. Tidak ada satupun bidang kehidupan yang tidak bermasalah.  

Skandal Bank Century misalnya, merupakan salah satu fenomena yang tampak dan sudah seharusnya membuka mata kita semua, tentang betapa payahnya pengelolaan sistem keuangan dan perbankan di negeri ini. Di tengah himpitan kehidupan rakyat yang semakin sulit, pejabat negara menambahkan penderitaan itu dengan perampokan uang negara senilai Rp 6,7 Triliun untuk menyelamatkan Bank milik pengusaha rakus yang bangkrut. 

Parahnya lagi dana talangan yang diberikan kepada Bank yang sekarang berubah nama menjadi Bank Mutiara itu, alirannya sangat kabur dan ditengarai terjadi pembelokan aliran untuk kepentingan politik. Meski di DPR sudah ada Pansus Bank Century yang sebentar lagi akan berakhir masa kerjanya, akan tetapi hasil kerja pansus jauh panggang dari api. Kinerja pansus tidak lebih dari sekedar dagelan-dagelan politik, yang semakin mencerminkan betapa buruknya wajah negara ini. Luka-luka yang diderita rakyat lantaran penghidupan yang berat disirami air asam oleh pejabat yang seharusnya menjadi pengayom mereka.

Belum lagi segudang permasalahan lain yang jika di urai benar-benar membuat dada sesak, diantaranya: Kemiskinan, kelaparan, kebodohan, perpecahan sosial, kesenjangan sosial, pendidikan mahal, biaya kesehatan mahal, minyak bumi dirampok, emas dicuri, penjarahan hutan, perusakan generasi muda melalui tayangan-tayangan tv, seks bebas, aborsi, perampokan, pemerkosaan, pencurian, pembunuhan, terorisme, kenaikan BBM, kelangkaan minyak tanah, buruh tani yang miskin, kapitalisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi, pilkada rusuh, pengemis di mana-mana, anak jalanan tidak terurus, penjajahan atas negeri-negeri kaum muslimin baik fisik maupun non fisik, aliran sesat, wakil “rakyat” yang hanya mementingkan uang, birokrasi busuk, suap-menyuap, KKN, penyerobotan tanah, pembakaran pasar, penggusuran pedagang kaki lima yang rusuh, tawuran antar mahasiswa, tawuran antar kampung, kerusuhan berbau SARA, bank ribawi, aurat wanita bebas dipertontonkan di mall-mall, perdagangan manusia, penculikan anak, pelacuran yang dilokalisir, budaya jiplakan barat, pornografi dan pornoaksi, “Islam Liberal”, VCD porno menjadi hal yang lumrah, partai Islam kompromistis, busung lapar, ketahanan pangan yang lemah, militer yang tunduk pada asing, politik luar negeri pengekor, kesetaraan gender yang mematikan generasi muda, televisi dan media-media cetak corong barat, kebebasan tingkah laku, kebebasan berpendapat yang ngawur, kebebasan beragama yang merusak Islam, pluralisme yang utopis, sekulerisme Indonesia, liberalisme perdagangan, pembohongan publik, panti jompo bagi para orang tua yang dibuang anaknya, hutang luar negeri, keberpihakan hukum pada pemilik modal, pembangunan tidak merata, banjir, tanah longsor, kecelakaan pesawat, kapal tenggelam, nelayan yang susah melaut, aktifitas-aktifitas adat syirik, pelegalan diskotik, pelegalan minuman keras, judi berkedok kuis sms, kerusuhan supporter sepak bola, pengangguran, merebaknya penyakit aids, masyarakat individualistik, pekerja bagaikan mesin-mesin produksi, ekonomi non real, perumahan kumuh, ulama bayaran, kiai mata duitan dan sebagainya.

Demikianlah segudang problematika yang saat ini menjangkiti mereka. Sakit yang dirasakan rakyat telah amat perih dan ngilu. Mereka tidak lagi dapat tersenyum apalagi tertawa lebar karena mereka harus menahan sakit akibat kronisnya penderitaan yang dirasakan.

Oleh karena itu, Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus menyatakan:
1. Perubahan basis konsep ketatanegaraan merupakan satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ideologi Kapitalisme dengan segala macam turunannya sudah nyata merupakan sumber dari segala sumber kerusakan yang saat ini terjadi.  Kapitalisme juga telah melahirkan rezim kompradornya yang terus-menerus berselingkuh dengan para pemilik modal untuk mengkhianati rakyat.

2. Pilihan waras yang kami serukan kepada seluruh komponen rakyat negeri ini adalah segera beralih kepada pola ketatanegaraan Islam dengan penerapan syariah dan khilafah.  Hal ini penting sebagai solusi atas seluruh persoalan yang terus-menerus melilit akibat penerapan kapitalisme. Hanya Islamlah satu-satunya sistem kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia, yang akan menyelamatkan Indonesia dan melahirkan kebaikan kehidupan di dunia dan di akhirat.

3. Umat harus segera sadar bahwa mereka adalah umat terbaik yang pernah ada. Umat harus segera sadar bahwa mereka adalah pemimpin dunia. Umat harus segera sadar bahwa mereka akan tetap sakit selama mereka masih menggunakan peradaban barat sebagai kiblat mereka. Umat harus segera sadar bahwa hanya dengan Islam-lah mereka akan bangkit kembali. Umat harus segera sadar bahwa merubah basis filosofi ketatanegaraan itu memang susah, tetapi bukan sesuatu yang mustahil.

Badan Eksekutif Kornas BKLDK
CP: 087884960795

Rabu, 13 Januari 2010

CENGKERAMAN EKONOMI KAPITALISME GLOBAL DI INDONESIA


CENGKERAMAN EKONOMI KAPITALISME GLOBAL DI INDONESIA

I

Oleh: Dwi Condro Triono

PEPENDAHULUAN
Saat ini kita tengah berada di abad kapitalisme. Di seantero jagad dunia ini tidak ada yang terbebas dari cengkeramannya, termasuk Indonesia tentunya. Sesungguhnya setiap manusia yang tinggal di atas muka bumi ini sudah bisa melihat, memahami dan merasakan bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh “ulah” kapitalisme global ini. Tidak perlu dengan kuliah di fakultas ekonomi yang tinggi, mereka yang tidak “melek” huruf-pun akan langsung bisa menjawab ketika ditanya tentang wajah ekonomi yang berlangsung saat ini, walaupun tidak bisa memberikan istilah yang tepat untuknya. Semua orang langsung dapat “mendeteksi”, bahwa ada ketidakberesan dari tata ekonomi yang berlangsung saat ini. Sangat nampak, bahwa wajah ekonomi saat ini terus berjalan menuju kepada dua kutub yang sangat berlawanan. Satu kutub telah membawa mereka yang kaya menjadi semakin kaya, sedangkan kutub yang lain terus menyeret mereka yang miskin menjadi semakin miskin dengan jumlah yang terus membengkak.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis ingin memberikan dua hal penting yang harus dilakukan untuk bisa menghadapi semua fenomena ini. Pertama, kita harus dapat menunjukkan apa sesungguhnya yang menjadi akar permasalahan, sehingga keadaan ekonomi dapat menjadi seperti ini. Apakah benar, bahwa semua tragedi ekonomi ini memang bersumber dari “ajaran” ekonomi kapitalisme? Kedua, jika memang benar, maka kita harus memiliki strategi khusus untuk dapat membendung kapitalisme global tersebut, sekaligus dapat menghadirkan ekonomi alternatif yang dapat menjadi penggantinya.
II. MENCARI AKAR PERMASALAHAN
Untuk menunjukkan keterkaitan ajaran kapitalisme dengan tragedi ekonomi yang saat ini berkembang, analisis yang pernah diajukan Karl Marx sesungguhnya sudah cukup ampuh untuk dapat memahami fenomena tersebut. Ada dua teori penting dari Karl Marx yang perlu kita fahami bersama (Deliarnov, 1997 & Koesters, 1987):
1. Surplus labor and value theory
Dalam membangun teorinya, Marx berangkat dari pandangan nilai (value) terhadap barang dan jasa menurut Adam Smith dan David Ricardo. Nilai suatu barang itu diukur dari seberapa banyak tenaga yang telah dikorbankan oleh pekerja untuk memproduksi barang tersebut. Selanjutnya Marx melihat bahwa dengan adanya perubahan pola produksi dari sistem yang primitif kepada sistem yang modern, maka akan muncul ketidakadilan dalam ekonomi.
Pola produksi yang primitif:
1. Kepemilikan bersifat individual.
2. Produksi bersifat individual.
3. Penjualan bersifat individual.
4. Pembagian keuntungan bersifat individual.
Pola produksi yang modern:
1. Kepemilikan bersifat individual.
2. Produksi bersifat kolektif.
3. Penjualan bersifat kolektif.
4. Pembagian keuntungan bersifat individual.
Dalam pola produksi modern, yang bekerja adalah buruh-buruh perusahaan. Majikan sebagai pemilik perusahaan, kenyataannya tidak pernah terlibat dalam proses produksi. Akan tetapi, majikanlah yang menikmati seluruh keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Sementara itu tenaga para buruh hanya dianggap sebagai bagian dari komponen biaya produksi. Sesuai dengan teori ekonomi kapitalisme, untuk memperoleh keuntungan yang maksimum, maka salah satu metodenya adalah dengan menekan biaya produksi seminimum mungkin. Jika nilai barang itu diukur dari besarnya tenaga yang telah dikorbankan, maka sesungguhnya telah terjadi surplus nilai tenaga buruh yang telah diambil oleh majikannya. Dengan demikian, ekonomi kapitalisme adalah ekonomi yang sangat dzalim terhadap kaum buruh dan menjadi surga bagi para kapitalis.
2. The law of capital accumulations
Menurut Marx, dalam persaingan yang bebas, perusahaan yang besar akan senantiasa “memakan” perusahaan yang kecil. Oleh karena itu, jumlah majikan akan semakin berkurang, sebaliknya jumlah kaum buruh akan semakin banyak. Demikian juga, jumlah perusahaan yang besar juga akan semakin sedikit, namun akumulasi kapitalnya akan semakin besar. Jika jumlah buruh semakin banyak, maka akan berlaku hukum upah besi (the iron wages law). Dengan demikian, nasib kaum buruh akan semakin tertindas sedangkan para kapitalis akan semakin ganas dan serakah.
Analisis yang dikemukakan oleh Marx memang masih terlalu sederhana untuk ukuran perkembangan ekonomi kapitalisme saat ini. Sebab, perkembangan kapitalisme global di abad mutakhir ini sudah semakin canggih dan kompleks. Keserakahan kaum kapitalis tidak hanya sampai pada pemerasan kaum buruh dan pencaplokan pengusaha kelas teri, namun keserakahan mereka sudah menerobos dan menjarah di banyak sektor yang lain, bahkan dengan dukungan berbagai fasilitas dan lembaga yang mereka ciptakan sendiri. Berbagai sektor maupun lembaga yang mereka ciptakan tersebut diantaranya adalah (Triono, 2007):
1. Sektor keuangan
Kaum kapitalis tidak hanya ingin membesar, tetapi mereka juga ingin membesar dengan cepat. Caranya ialah dengan menciptakan lembaga perbankan. Fungsi utamanya adalah untuk mengeruk dana masyarakat dengan cepat, sehingga dapat segera mereka manfaatkan untuk menambah modal perusahaannya agar bisa menjadi cepat besar.
Ternyata keberadaan lembaga perbankan ini masih dianggap belum cukup, mereka terus mengembangkan kreatifitasnya. Akhirnya ditemukanlah ide untuk menciptakan sebuah pasar yang unik, yang selanjutnya mereka namakan sebagai pasar saham. Dengan adanya pasar ini, mereka dapat dengan mudah untuk melempar kertas-kertas sahamnya agar dibeli masyarakat, sehingga mereka segera mendapatkan gelontoran modal yang mampu untuk membuat perusahaan mereka menjadi cepat menggurita.
2. Sektor kepemilikan umum
Nafsu kapitalisme tidak akan pernah mengenal kata “cukup”. Mereka tidak pernah ingin berhenti. Mereka tidak hanya ingin berhenti untuk untuk bermain di wilayah pasar hilir saja, tetapi mereka terus merangsek untuk mencaplok sumber-sumber ekonomi di wilayah hulu. Dengan dalih kebebasan ekonomi dan kebebasan pasar, mereka juga ingin menguasai wilayah-wilayah ekonomi yang seharusnya menjadi milik umum yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Wilayah ekonomi yang ingin terus mereka kuasai tersebut misalnya adalah berbagai macam sektor pertambangan, sumber daya hutan, sumber daya air, minyak bumi, gas, jalan raya, pelabuhan, bandara dsb.
3. Sektor kepemilikan Negara
Jika mereka sudah banyak menguasai sektor kepemilikan umum, maka bagi kaum kapitalis tetaplah belum dianggap cukup. Mereka kemudian melirik kepada perusahaan-perusahaan yang banyak dimiliki oleh Negara. Dengan dalih demi efektivitas dan efisiensi perusahaan, mereka akan mendorong perusahaan milik Negara tersebut untuk go public, dengan jalan melego sahamnya ke pasar, dengan harga yang murah tentu saja.
4. Sektor kekuasaan
Menjadi besar dan cepat besar ternyata masih dianggap belum cukup. Mereka juga ingin memiliki rasa aman terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan mereka. Jaminan rasa aman hanya dapat diperoleh jika mereka bisa merambah ke wilayah kekuasaan. Sebab, di sektor inilah berbagai produk hukum akan dibuat. Jika mereka bisa memasuki sektor ini, maka mereka akan dengan mudah untuk dapat melahirkan berbagai produk hukum dan kebijakan yang dapat menguntungkan dan menjamin kelestarian kerajaan bisnis mereka.
Dalam politik demokrasi yang kapitalistik, untuk menjadi penguasa prasyarat yang paling menentukan hanya satu, yaitu harus memiliki dana yang besar untuk melakukan kampanye maupun untuk “membeli” suara rakyat. Hal itu hanya mungkin dilakukan oleh kaum kapitalis yang memang sudah berkubang dengan uang.
Cara yang mereka lakukan ada dua kemungkinan, yaitu dengan langsung mencalonkan diri untuk menjadi penguasa, atau cara yang kedua adalah dengan mendanai orang lain lain agar menang dalam pemilihan dan dapat menjadi penguasa. Mereka yang telah dicalonkan oleh kaum kapitalis, jika menang maka dia harus “menghambakan” diri kepada mereka yang telah mendanai bagi kemenangannya.
5. Sektor moneter
Apakah sepak terjang kaum kapitalis di atas sudah cukup? Ternyata masih tetap belum cukup. Nafsu serakah untuk terus-menerus melakukan penjarahan kekayaan di berbagai sektor dan ke berbagai negeri ternyata ingin terus mereka lakukan. Dengan apa? Ternyata mereka masih memiliki cara yang benar-benar canggih dan nyaris lepas dari logika akal sehat manusia. Mereka menciptakan sebuah mekanisme ekonomi yang dapat memperlicin seluruh sepak terjang mereka, yaitu dengan mewujudkan sebuah sistem mata moneter yang benar-benar menguntungkan mereka.
Sistem moneter yang mereka kembangkan adalah dengan menggunakan basis utama uang kertas. Dengan berbasiskan pada uang kertas, mereka akan mendapatkan tiga keuntungan sekaligus, yaitu; keuntungan dari seignorage, keuntungan dari suku bunga dan keuntungan dengan mempermainkan kurs bebas. Dengan model tree in one inilah mereka akan dapat memperoleh keuntungan yang berlipat-lipat dengan tanpa harus banyak mengeluarkan banyak keringat.
6. Sektor pendidikan
Masih ada satu sektor lagi yang tidak boleh dilupakan, yaitu sektor pendidikan. Mengapa sektor ini harus terseret ke dalam lingkaran kapitalisme? Kepentingan mereka sangat jelas, yaitu kebutuhan untuk memperoleh tenaga kerja yang sangat professional, memiliki skill yang tinggi dan mau digaji dengan sangat murah.
Caranya adalah dengan “melemparkan” dunia pendidikan ke pasar bebas mereka. Peran Negara untuk mengurus pendidikan harus dikurangi, subsidi biaya pendidikan harus “dihabisi”, sehingga biaya pendidikan bisa menjadi mahal dan produk yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan tuntutan pasar. Model pendidikan seperti ini hanya mengasilkan manusia-manusia yang pragmatis, oportunis dan hanya bermental jongos. Sangat sulit dalam dunia pendidikan yang mahal dapat menghasilkan manusia-manusia yang idealis yang mau berfikir tentang jati dirinya maupun jati diri bangsanya.
III. CENGKERAMAN KAPITALISME DI INDONESIA
Untuk memahami apakah sebuah negara itu bercorak kapitalisme ataukah sebaliknya yaitu sosialisme, maka indikator yang paling mudah untuk digunakan adalah dengan melihat seberapa besar pihak-pihak yang menguasai sektor ekonominya. Jika sektor-sektor ekonomi lebih banyak dikuasai oleh swasta, maka negara tersebut cenderung bercorak kapitalisme dan sebaliknya, jika ekonomi lebih banyak dikendalikan oleh negara, maka lebih bercorak sosialisme (Samuelson & Nordhaus, 1999).
Dengan menggunakan tolok ukur di atas, kita dapat menelusuri sejauh mana cengkeraman kapitalisme telah menjalar ke Indonesia. Sesungguhnya jejak kapitalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai memasuki era pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak Bulan Maret 1966. Orientasi pemerintahan Orba sangat bertolak belakang dengan era sebelumnya. Kebijakan Orba lebih berpihak kepada Barat dan menjahui ideologi komunis.
Dengan membaiknya politik Indonesia dengan negara-negara Barat, maka arus modal asing mulai masuk ke Indonesia, khususnya PMA dan hutang luar negeri mulai meningkat. Menjelang awal tahun 1970-an atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju termasuk Jepang untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari sosialisme lebih ke arah semikapitalisme (Tambunan, 1998).
Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Menilik kebijakan yang banyak ditempuh pemerintah, kita dapat menilai bahwa ada sebuah mainstream sistem ekonomi telah dipilih atau telah ‘dipaksakan’ kepada negara kita. Isu-isu ekonomi politik banyak dibawa ke arah libelarisasi ekonomi, baik libelarisasi sektor keuangan, sektor industri maupun sektor perdagangan. Sektor swasta diharapkan berperan lebih besar karena pemerintah dianggap telah gagal dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi, baik yang berasal dari eksploitasi sumberdaya alam maupun hutang luar negeri (Rachbini , 2001).
Pakto ’88 dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan libelarisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi hutang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi Indonesia saat itu (Rachbini , 2001).
Masa pembangunan ekonomi Orde Baru-pun akhirnya berakhir. Puncak dari kegagalan dari pembangunan ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya krisis moneter, yang diikuti dengan ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia.
Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata kebijakan perekonomian Indonesia tidak bergeser sedikitpun dari pola sebelumnya. Bahkan semakin liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF, Indonesia benar-benar telah menuju libelarisasi ekonomi. Hal itu paling tidak dapat diukur dari beberapa indikator utama, yaitu (Triono, 2001):
1. Dihapuskannya berbagai subsidi dari pemerintah secara bertahap. Berarti, harga dari barang-barang strategis yang selama ini penentuannya ditetapkan oleh pemerintah, selanjutnya secara berangsur diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.
2. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate). Sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, penentuan nilai kurs rupiah tidak boleh dipatok dengan kurs tetap (fix rate). Dengan kata lain, besarnya nilai kurs rupiah harus dikembalikan pada mekanisme pasar.
3. Privatisasi BUMN. Salah satu ciri ekonomi yang liberal adalah semakin kecilnya peran pemerintah dalam bidang ekonomi, termasuk didalamnya adalah kepemilikan asset-asset produksi. Dengan “dijualnya” BUMN kepada pihak swasta, baik swasta nasional maupun asing, berarti perekonomian Indonesia semakin liberal.
4. Peran serta pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan perjanjian GATT. Dengan masuknya Indonesia dalam tata perdagangan dunia tersebut, semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk “kubangan” libelarisasi ekonomi dunia atau kapitalisme global.
IV. MENUJU PERUBAHAN SISTEM EKONOMI
Setiap kita membicarakan perubahan, maka kita akan dihadapkan pada dua kemungkinan perubahan, yaitu: perubahan secara fungsional atau perubahan secara struktural. Menilik problem ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia, maka perubahan yang paling urgen yang harus segera dilakukan adalah perubahan yang bersifat struktural, walaupun perubahan yang bersifat fungsional juga tidak boleh dilupakan.
Perubahan ekonomi secara struktural berarti mengganti sistem ekonominya, dari sistem ekonomi yang bercorak kapitalistik menjadi sistem ekonomi yang baru. Namun, perubahan sistem tersebut bukan berarti merubah sistem ekonominya menjadi sosialis, sebab sistem ekonomi ini juga sudah terbukti gagal. Masih satu harapan lagi yaitu perubahan menuju sistem ekonomi Islam.
Sebagaimana karakter perubahan yang bersifat sistemik, maka sistem ekonomi Islam juga akan membongkar sebuah sistem ekonomi mulai dari akarnya. Perubahan yang bersifat mendasar dari ekonomi Islam berangkat dari sebuah pandangan terhadap kepemilikan dari harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Islam memandang bahwa harta kekayaan yang ada di muka bumi ini tidak untuk dibagikan secara bebas (sebagaimana sistem ekonomi kapitalisme) untuk manusia, namun Allah swt telah memberi ketentuan yang adil dalam pembagiannya, yaitu (An-Nabhani, 1990): kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan Negara. Masing-masing kepemilikan terhadap harta kekayaan tersebut sudah ada aturan-aturannya yang terinci, dengan mengikuti tiga runtutan perlakuan yang adil, yaitu (An-Nabhani, 1990):
1. Pengaturan dalam masalah kepemilikan (al-milkiyah).
2. Pengaturan dalam masalah pemanfaatan dan pengembangan kepemilikan (al-tasharruf fi al-milkiyah).
3. Pengaturan dalam masalah distribusi harta kekayaan di tengah-tengah manusia (tauzi’u tsarwah bayna al-nas).
Selanjutnya, sistem ekonomi Islam dalam suatu negara akan dibangun dan dikembangkan dengan bertumpu kepada tiga pilar ekonomi Islam tersebut. Insya Allah, jika pengaturannya konsisten, wajah ekonomi suatu negara akan nampak sangat jelas perbedaannya dengan wajah ekonomi yang bercorak kapitalistik.

DAFTAR RUJUKAN
Deliarnov, 1997, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.
Koesters, Paul Heinz, 1987, Tokoh-tokoh Ekonomi Mengubah Dunia – Pemikiran-pemikiran yang Mempengaruhi Hidup Kita, Gramedia, Jakarta.
An Nabhani, Taqyuddin, 1996, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif - Perspektif Islam, Alih Bahasa Muh. Maghfur, Risalah Gusti, Surabaya, Cet. II.
Rachbini, Didik J., Republika 27 Juni 2001
Samuelson, Paul A. & Nordhaus, William D., 1999, Mikroekonomi, Alih Bahasa: Haris Munandar dkk., Erlangga, Jakarta.
Tambunan, Tulus, 1998, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Triono, Dwi Condro, Makalah Seminar Setengah Hari dengan tema “Dilema Pembangunan Bidang Keteknikan Dalam Krisis Perekonomian Indonesia” Fakultas Teknik Universitas Janabadra Yogyakarta. Tanggal 15 Agustus 2001.
Triono, Dwi Condro, Makalah Seminar dengan tema “Islam dan Tantangan Ekonomi Global” Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta. Tanggal 22 Mei 2007.

PENGENDALIAN INFLASI DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN


PENGENDALIAN INFLASI DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN



Oleh: Dwi Condro Triono


Abstraksi
Prasarat utama bagi negara yang ingin mewujudkan pembangunan ekonomi jangka panjangnya adalah terciptanya kestabilan ekonomi jangka pendek. Inflasi merupakan penyakit utama ekonomi jangka pendek yang perkembangannya semakin kompleks dan semakin sulit untuk dikendalikan. Berbagai kebijakan ekonomi konvensional sudah tidak ampuh lagi untuk menyelesaikan penyakit ekonomi ini.
Tulisan ini ingin memberikan sebuah terobosan solusi untuk mengatasi inflasi dengan pendekatan yang baru, yaitu dengan mengacu kepada perspektif Al Qur’an. Perspektif baru ini diharapkan mampu menyelesaikan masalah inflasi tidak hanya dalam dataran menghilangkan gejala (symtom), tetapi benar-benar dapat menghilangkan penyakit langsung kepada sumbernya (causatic).
Menurut perspektif Al Qur’an, sumber penyebab munculnya gejolak ekonomi, yang ditunjukkan dengan inflasi yang tinggi adalah akibat penggunaan mata uang yang menyimpang dari Al Qur’an. Penyimpangan itu tidak lain adalah menjadikan mata uang sebagai alat komoditi dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan itu disebut oleh Al Qur’an dengan istilah riba, baik riba nasi’ah maupun riba fadhl. Oleh karena itu, jika ingin mewujudkan perekonomian yang lebih stabil, dengan tingkat inflasi yang lebih terkendali, maka harus ada keberanian untuk menghilangkan sumber penyebab utamanya tersebut.
I. PENGANTAR
Pembangunan ekonomi senantiasa menduduki peran yang sangat penting bagi negara-negara di seluruh dunia ini, terutama setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua. Terlebih lagi bagi negara-negara yang sedang berkembang (NSB), yang nota bene adalah negara-negara bekas jajahan (Prayitno & Santoso, 1996). Namun demikian, dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi itulah, banyak masalah yang harus dihadapi oleh setiap negara. Masalah yang senantiasa harus dihadapi itu tidak lain adalah masalah ketidakstabilan ekonomi.
Ketidakstabilan ekonomi biasanya diidentikkan dengan munculnya penyakit-penyakit ekonomi makro. Paling tidak ada tiga penyakit ekonomi makro utama yang senantiasa muncul dalam proses pembangunan ekonomi, yaitu: masalah inflasi, pengangguran dan ketimpangan neraca pembayaran (Boediono, 1999). Menurut Bordo, Dittimar & Gavin (2003), sejak tahun 1980-an masalah inflasi merupakan masalah ekonomi nomor satu yang harus dihadapi oleh negara-negara di dunia ini. Bahkan, peran bank sentral di berbagai negara di dunia ini sudah identik dengan bank sentral yang mengadopsi target inflasi baik secara implisit maupun eksplisit.
Inflasi pada mulanya senantiasa diidentikkan dengan pencetakan uang yang terlalu banyak, yang menyebabkan bertambahnya pasokan jumlah uang beredar menjadi lebih banyak. Hal itu dapat menyebabkan terjadinya kenaikan harga. Oleh karena itu inflasi didefinisikan sebagai kenaikan tingkat harga secara umum. Definisi itu sebagai kebalikan dari kenaikan harga hanya satu atau dua komoditi saja (Humphreys, 1997).
Pengalaman krisis demi krisis yang menimpa ekonomi dunia dalam satu abad terakhir ini seharusnya telah menyadarkan kepada kita bahwa masalah inflasi telah berkembang menjadi persoalan yang semakin kompleks. Diawali dengan terjadinya malapetaka yang besar (the great depressions) pada tahun 1930-an, kemudian disusul dengan terjadinya krisis Amerika Latin pada dekade 1980-an, akhirnya muncul kembali pada krisis moneter di Asia pada pertengahan tahun 1997-an, adalah pengalaman ekonomi dunia dengan inflasi tingginya (hyper inflation) yang sangat merusakkan sendi-sendi ekonomi (Triono, 2006).
Menurut Chapra (2000), jika kita hendak melakukan pengobatan, maka tidak akan ada pengobatan yang efektif kecuali hal itu diarahkan kepada arus utama masalah. Kesalahan yang umumnya dilakukan adalah bahwa pengobatan hanya dilakukan pada symtom (gejala) saja, bukan secara causatic (sumber masalah). Contoh penyelesaian masalah yang hanya sampai kepada gejala adalah: penyelesaian krisis ekonomi dengan hanya melihat ketidakseimbangan anggaran, ekspansi moneter yang berlebihan, defisit neraca pembayaran yang terlalu besar, naiknya kecendrungan proteksionis, tidak memadainya bantuan asing dan kerja sama internasional yang tidak mencukupi dsb. Akibatnya, penyembuhannya hanya bersifat sementara, seperti obat-obatan analgesik, mengurangi rasa sakit hanya bersifat sementara. Beberapa saat kemudian, krisis muncul kembali, bahkan lebih mendalam dan serius (Chapra 2000).
Tulisan ini menawarkan solusi alternatif terhadap pengendalian ketidakstabilan ekonomi khususnya yang ditimbulkan oleh inflasi dengan menggunakan perspektif Al Qur’an. Perspektif ini digunakan dengan tujuan untuk mencoba mencari penyelesaian masalah sampai kepada sumber arus utama masalahnya, bukan hanya sekedar penyelesaian kepada gejalanya saja.
II. INFLASI DAN PENGANGGURAN
Sebelum kita masuk kepada solusi menurut perspektif Al Qur’an, terlebih dahulu kita harus melihat kembali, mengapa pengendalian inflasi yang diberikan ekonomi konvensional senantiasa mengalami kebuntuan? Jawabnya tidak lain adalah, bahwa kebijakan ekonomi yang disandarkan pada teori ekonomi konvesional tidak pernah memberikan penyelesaian yang bersifat tuntas. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, setiap solusi yang diberikan akan bersifat saling menegasikan antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya.
Contohnya adalah, jika pemerintah ingin menurunkan tingkat inflasi dengan menggunakan kebijakan uang ketat (tight money policy), justru akan menimbulkan dampak meningkatnya angka pengangguran. Demikian sebaliknya, jika ingin menekan tingkat pengangguran, akan mendorong terjadinya inflasi yang tinggi dan seterusnya. Fenomena hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran tersebut dilukiskan oleh seorang Profesor dari Canberra yang bernama A.J. Phillips, yang kemudian dikenal dengan kurva Phillips sebagai berikut (Humphreys, 1997):
Gambar 1. Kurva Phillips


Namun demikian, logika kurva Phillips di atas semakin jauh dari faktanya ketika ekonomi dunia memasuki pasca tahun 70-an. Saat itu ekonomi dunia dilanda resesi hebat. Segenap kebijakan ekonomi telah dikerahkan, tetapi tidak banyak membantu mengatasi bencana ekonomi tersebut. Kebijakan untuk mengatasi inflasi telah menyebabkan terjadinya pengangguran yang lebih besar. Sementara itu, gerakan ekspansif untuk menciptakan lebih banyak pekerjaan telah menyebabkan terjadinya laju inflasi yang sangat tinggi. Kurva Phillips semakin menjauh dari titik originnya. Fenomena itu kemudian dikenal dengan istilah stagflasi ekonomi. Suatu penyakit ekonomi baru yang lebih menakutkan (Deliarnov, 1997; Humphreys, 1997). Ketidakberdayaan kebijakan ekonomi konvensional tersebut akhirnya menjadi semakin nyata ketika krisis moneter mendera kawasan Asia. Hampir seluruh kebijakan ekonomi menjadi lumpuh seketika.
III. KETIDAKSTABILAN EKONOMI DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN
Jika kita mau merujuk kepada Al Qur'an, maka akan dijumpai ayat yang memberi informasi tentang akan terjadinya ketidakstabilan atau bahkan kegoncangan ekonomi, jika manusia melakukan kesalahan dalam menjalankan praktik ekonomi. Hal itu dapat disimak dalam QS. Al Baqarah: 275:


“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila...”.
Itulah gambaran tentang manusia yang berdiri saja tidak bisa, laksana manusia yang kerasukan setan, mengalami kegoncangan yang hebat. Jika kita periksa berbagai kitab tafsir, kebanyakan para mufassir memberikan penafsiran terhadap lafadz “laa yaquumuuna” (tidak bisa berdiri) adalah keadaan ketika dibangkitkan dari alam kubur pada hari kiamat nanti. Para pemakan riba nantinya tidak akan bisa berdiri laksana orang yang kerasukan setan (Ash- Shiddieqy, 2000).
Menurut pendapat penulis, akibat dari memakan (mengambil) riba selain akan mengalami keadaan “tidak bisa berdiri” kelak di akherat (sebagaimana yang digambarkan oleh para ahli tafsir di atas), keadaan tersebut juga akan dialami para pengambil riba di dunia ini. Pendapat penulis ini didasarkan pada dua pendekatan pemahaman sebagai berikut:
Pertama. Pendekatan pemahaman yang didasarkan pada penjelasan dari keumuman ayat-ayat Al Qur’an yang lain. Ada banyak ayat Al Qur’an yang memberi penjelasan secara umum, bahwa jika manusia melakukan penyimpangan atau berpaling dari petunjuk Al Qur’an, maka manusia pasti akan merasakan kehidupan yang sengsara di dunia ini. Salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut adalah Firman Allah SWT:

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS. Thaha: 124).
Lafadz “dzikriy” yang dimaksud dalam ayat di atas adalah Al Qur’an. Sedangkan lafadz “ma’iisyatan dhanka” adalah kehidupan dunia yang sengsara. Ayat tersebut memberikan penjelasan secara umum, bahwa setiap manusia yang menyimpang dari Al Qur’an dampaknya tidak hanya akan dirasakan di akherat, akan tetapi juga akan dirasakan di dunia ini, yaitu akan menyebabkan kehidupan yang menderita.
Kedua. Pendekatan pemahaman yang ditinjau dari konteks pembicaraan dari kandungan awal ayat Al Baqarah 275 tersebut. Konteks pembicaraan yang terkandung pada awal ayat ini adalah tentang celaan terhadap orang yang memakan atau mengambil riba. Konteks pengambilan riba tidak lain adalah persoalan yang terkait dengan bidang ekonomi. Dengan demikian, apa yang dipaparkan Allah SWT dalam ayat ini tidak lain adalah pembicaraan dalam konteks ekonomi.
Dengan demikian, berdasarkan kepada dua pendekatan pemahaman di atas, maka penulis dapat memberikan pemahaman terhadap awal ayat di atas, yaitu tidak hanya sekedar kegoncangan yang akan terjadi di akherat saja, akan tetapi kegoncangan tersebut akan juga dialami oleh para pengambil riba di dunia ini. Kegoncangan tersebut tidak lain adalah kegoncangan ekonomi. Atau dengan istilah yang lebih teknis adalah “ketidakstabilan ekonomi”. Wallahu a’lam. Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: mengapa kegoncangan atau ketidakstabilan ekonomi tersebut dapat terjadi?
IV. PENYEBAB TERJADINYA KETIDAKSTABILAN EKONOMI
Untuk menjawab pertanyaan di atas ternyata tidak sulit. Sebab, jawabannya langsung ditunjukkan oleh Allah SWT pada kelanjutan ayat di atas, yaitu:


“...Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba(QS. Al Baqarah: 275).
Kelanjutan ayat di atas memberi penjelasan, bahwa penyebab kegoncangan tersebut adalah akibat mempersamakan antara jual beli dan riba. Dalam teori ekonomi konvensional, kenyataannya memang tidak pernah dibedakan antara laba yang diambil dari penjualan barang dan bunga dari “penjualan” uang. Demikian juga antara sewa dari pemanfaatan barang yang dipinjamkan, dengan bunga dari pemanfaatan uang yang dipinjamkan. Semuanya dianggap sama, karena dianggap sebagai kompensasi logis dari “imbalan” dari pemanfaatan sesuatu (Boediono, 1992).
Hal itu sangat berbeda dengan Al Qur'an yang membedakan antara pemanfaatan barang dan pemanfaatan uang, antara penjualan barang dengan “penjualan” uang. Al Qur'an menghalalkan keuntungan (laba) yang didapatkan dari transaksi terhadap barang dan mengharamkan keuntungan (bunga) yang didapatkan dari transaksi terhadap uang, yang kemudian disebut dengan riba. Hal itu telah ditegaskan Allah SWT dalam kelanjutan ayat tersebut, yaitu:

“…padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah: 275).
Dengan demikian, jika kita mencermati ketentuan yang telah digariskan ayat Al Qur’an di atas, maka kita dapat menarik satu pemikiran yang mendasar, bahwa uang dalam pandangan Islam harus mendapatkan perlakuan khusus, yaitu tidak boleh dijadikan sebagai alat komoditi sebagaimana barang dalam rangka untuk memperoleh keuntungan, yaitu riba. Jika ketentuan Al Qur’an ini dilanggar, maka akan menyebabkan terjadinya kegoncangan ekonomi, sebagaimana yang telah disebut di awal ayat ini.
Dari sinilah kita dapat menarik kesimpulan, bahwa sumber penyebab terjadinya ketidakstabilan ekonomi atau terjadinya kegoncangan ekonomi tidak lain adalah akibat menggunakan uang sebagai alat komoditi dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Keuntungan yang didapat itulah yang disebut dengan riba, yang hukumnya haram. Para pelakunya telah diancam akan dimasukkan ke dalam neraka, bahkan akan menyebabkan kekal di dalamnya, apabila pelakunya sudah mengetahui, kemudian mengulang-ulangnya. Hal itu dapat dlihat dari kelanjutan Firman Allah dalam ayat tersebut:

“…Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya(QS. Al Baqarah: 275).
I. RIBA DAN KETIDAKSTABILAN EKONOMI
Setelah kita memahami sumber penyebab ketidakstabilan ekonomi, maka pertanyaan berikutnya adalah: mengapa riba dapat menjadi sumber penyebab ketidakstabilan ekonomi? Untuk memahami hal itu, maka kita harus memahami makna dari riba itu sendiri secara lebih mendalam.
Riba dalam makna bahasa berarti bertambah, berkembang atau tumbuh. Sedangkan dalam makna syar’i, riba maknanya adalah tambahan atau “premi” yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman di luar pengembalian pokok, sebagai syarat pinjaman atau perpanjangan batas jatuh tempo (Chapra 2000; Sabiq, 1993).
Selanjutnya, dengan memahami penjelasan dari dalil-dalil As Sunnah, riba tersebut dapat dikategorikan ke dalam 2 bagian, yaitu:
a. Riba Nasi’ah
Istilah nasi’ah berasal dari kata nasa’a yang bermakna menunda, menangguhkan atau menunggu. Dengan demikian makna riba nasi’ah secara istilah adalah tambahan atau “premi” yang harus diberikan penghutang karena telah diberi masa untuk membayar hutangnya (Chapra 2000; Sabiq, 1993). Riba nasi’ah inilah yang saat ini banyak diambil dalam praktik di perbankan konvensional, yang dikenal dengan istilah bunga.
b. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah tambahan atau keuntungan yang diperoleh dari transaksi tukar-menukar atau jual-beli barang-barang tertentu. Ada 6 jenis barang yang dapat memunculkan riba apabila barang-barang tersebut ditransaksikan, yaitu: emas, perak, gandum, jelai, kurma dan garam (Chapra 2000; Sabiq, 1993). Dalilnya adalah:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma dan garam dengan garam serupa dengan serupa, dari tangan ke tangan. Barangsiapa yang membayar lebih atau mengambil lebih, ia telah melakukan riba. Pengambil dan pembayar sama-sama berdosa” (HR. Muslim; HR. Ahmad).
Emas dan perak yang dimaksudkan dalam Hadits di atas tidak lain adalah mata uang (An Nabhani, 1994). Oleh karena itu, ketentuan yang harus dipenuhi dalam tukar-menukar atau jual beli mata uang yang sejenis adalah: berat timbangannya atau nilai uangnya sama dan setimbang. Sedangkan untuk tukar-menukar mata uang yang tidak sejenis, maka boleh dengan sesukanya, namun dengan ketentuan harus kontan dan serah terimanya harus berada di tempat. Jika ketentuan ini dilanggar, maka akan menimbulkan riba. Dalilnya adalah:
“Janganlah kalian menjualbelikan emas dengan emas kecuali dengan sama (timbangan dan ukurannya). Tidak boleh sebagiannya melebihi sebagiannya yang lain, juga jangan kalian menjual perak dengan perak kecuali dengan timbangan dan ukuran yang sama. Dan jangan menjual emas dan perak yang tidak ada di tempat saat melakukan transaksi (ghaib)” (HR. Bukhari, No: 2177).
Rasulullah SAW melarang jual beli perak dengan perak dan emas dengan emas, kecuali dengan nilai setara (sama nilainya). Beliau membolehkan kita membeli perak dengan emas menurut kehendak kita, serta membolehkan kita membeli emas dengan perak menurut kehendak kita.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Jangan kalian menjual emas dengan emas kecuali sama (timbangan dan ukurannya) dan janganlah kalian menjual perak dengan perak kecuali sama timbangan dan ukurannya. Tidak boleh sebagian melebihi sebagian yang lain dan janganlah kalian menjual sebagian emas dan perak yang tidak ada di tempat dengan kontan.” (Sunan Tirmizi: 1259).
“Bahwa dia bertransaksi dengan Thalhah bin Ubaidillah di Makkah sebesar seratus dinar. Kemudian Thalhah mengambil uang emas tersebut dan mulai dilihat-lihat darinya, kemudian berkata: ‘Tunggu, sampai datang bendaharaku dari hutan’. Saat itu Umar mendengar hal ini, lalu dia berkata: ‘Demi Allah, dia tak boleh berpisah kecuali sampai dia mendatangkan uang tersebut. Karena Rasulullah SAW bersabda: ‘Menjual emas dengan perak akan mengandung riba kecuali bila kontan’ “ (Bukhari: 2174; Muslim: 1586; Tirmizi: 1243; Abu Daud: 3348).
Riba fadhl saat ini banyak diambil dalam praktik jual beli mata uang pada bursa valuta asing (foreign exchange). Praktik di bursa valas dapat dianggap banyak menimbulkan riba fadhl karena fakta jual beli mata uang yang ada di bursa tersebut tidak ada yang dilakukan secara kontan dan serah terimanya juga tidak berada di tempat (Triono, 2003).
Selanjutnya, bagaimana penjelasan keterkaitan antara riba dengan ketidakstabilan ekonomi? Siregar (2001), telah memberi penjelasan tentang dampak dari adanya suku bunga terhadap ketidakstabilan ekonomi tersebut. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Dengan adanya ketentuan suku bunga, maka pinjaman pada perbankan akan memerlukan kepastian pengembalian. Oleh karenanya, peminjaman perbankan hanya akan diberikan kepada peminjam yang memiliki jaminan kredit guna meng-cover pinjaman tersebut dan kecukupan cash flow untuk memenuhi kewajibannya tersebut. Akibatnya, dana bank hanya akan mengalir kepada golongan kaya saja. Sedangkan golongan miskin tidak akan pernah memperoleh bagian pinjaman kredit perbankan.
Fakta selanjutnya menunjukkan bahwa golongan kaya yang memperoleh kredit tersebut umumnya memanfaatkan dana tersebut tidak hanya untuk investasi yang produktif saja, tetapi juga untuk keperluan yang non produktif, seperti untuk conspicius consumption (konsumsi barang lux, yang hanya berguna untuk simbol status), pengeluaran yang tidak bermanfaat, termasuk juga untuk keperluan spekulasi. Hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya ekspansi money demand yang cepat, hanya untuk keperluan konsumsi yang non produktif dan tidak bermanfaat.
Selanjutnya, tingginya konsumsi masyarakat tersebut tentu akan berdampak kepada semakin berkurangnya tabungan masyarakat. Jika tabungan masyarakat semakin rendah, hal itu akan berpengaruh terhadap terjadinya peningkatan suku bunga (interest rate). Apabila suku bunga sering mengalami perubahan, hal itu juga akan mengakibatkan terjadinya ketidakpastian (uncertainty). Tingginya volatility dari suku bunga tersebut akan menyebabkan tingginya ketidakpastian (uncertainty) dalam financial market. Hal itulah yang menyebabkan investor tidak berani melakukan investasi jangka panjang, sehingga hanya akan memilih investasi jangka pendek saja.
Apabila borrower mahupun lender lebih mempertimbangkan investasi jangka pendek saja, maka investasi jangka pendek yang lebih cenderung kepada aktivitas spekulasi akan lebih menarik daripada investasi yang jangka panjang yang lebih produktif. Akibatnya masyarakat akan lebih suka mencari keuntungan (capital gain) dari pasar saham (stock exchange), pasar mata uang asing (foreign exchange) dan aktivitas keuangan derevatif lainnya yang lebih bersifat spekulatif.
Hal inilah yang menyebabkan uang tumbuh dengan cepat pada aktivitas di sektor tersebut. Prof. John Gray dari Oxford University telah mengakui terjadinya hal itu. Dia menyatakan bahwa motif transaksi murni dalam pasar valas telah berubah menjadi perdagangan derivatif yang penuh dengan motif spekulasi. Hanya 5 % dari $ 1,2 triliun per hari transaksi keuangan yang berorientasi kepada sektor riil dan selebihnya (95%) adalah transaksi spekulatif yang tidak mendukung pertumbuhan sektor riil sama sekali (Karim, 2002). Fenomena inilah yang dapat menyebabkan terjadinya bubble economy, yang sewaktu-waktu dapat meletup dan dapat menyebabkan terjadinya krisis ekonomi yang sangat besar.
Tingginya inflasi (hyper inflation) yang menimpa Indonesia pada krisis moneter di tahun 1997-an juga tidak terlepas dari ulah spekulan mata uang di bursa valas tersebut. Akibat adanya spekulasi di bursa valas, nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS. Lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS inilah yang mengakibatkan harga-harga barang impor menjadi sangat tinggi. Indonesia sebagai negara yang mayoritas industrinya masih bergantung pada bahan baku impor, dengan naiknya harga barang impor inilah yang menyebabkan terjadinya inflasi tinggi di Indonesia (Tambunan, 1998).
Bagi negara yang banyak memiliki hutang luar negeri, maka terjadinya depresiasi nilai tukar akan lebih membahayakan ekonominya. Bordo, Meissner & Weidenmier (2006), telah melakukan penelitian terhadap fakta tersebut. Negara yang hutang luar negerinya banyak dalam mata uang asing, sedangkan arus pendapatan terbesarnya dalam mata uang lokal, akan mengalami keadaan yang disebut dengan currency mismatches (ketidaksepadanan mata uang). Ketidaksepadanan mata uang tersebut dapat membuat negara menjadi lebih peka (vulnerable) terhadap terjadinya depresiasi mata uang. Jika mata uangnya mengalami depresiasi secara mendadak, maka kondisi keuangannya akan segera terguncang, yang pada akhirnya dapat menimbulkan krisis keuangan, sebagaimana yang menimpa Asia pada tahun 1997-an.
Dampak dari terjadinya fluktuasi kurs mata uang juga akan lebih banyak merugikan negara-negara yang sedang berkembang. Penelitian yang dilakukan Esquivel dan Larrain (2002), mengungkapkan bahwa setiap kenaikan 1 % nilai tukar mata uang G-3 (Amerika, Jepang dan Jerman) akan menurunkan 2 % nilai ekspor riil negara berkembang. Hasil penelitiannya juga menyebutkan bahwa kenaikan volatilitas nilai tukar dari mata uang negara G-3 tersebut juga menyebabkan terjadinya krisis nilai tukar di negara-negara berkembang.
Dengan demikian, jika kita mau kembali merujuk kepada ketentuan Al Qur’an dan As Sunnah, maka faktor-faktor utama yang dapat menyebabkan terjadinya gejolak nilai mata uang harus ditekan seminimal mungkin. Sebagaimana yang dikehendaki oleh Al Qur’an dan As Sunnah, maka keberadaan transaksi valuta asing yang dilakukan secara tidak kontan dan tidak berada di tempat seharusnya segera dihilangkan, sebab kenyataannya praktik tersebut ternyata telah menumbuhsuburkan spekulasi yang berujung pada terjadinya kegoncangan nilai tukar mata uang, yang dampaknya dapat menghancurkan ekonomi sektor riil, yaitu ditandai dengan tingginya tingkat inflasi.
II. PENUTUP
Uraian yang panjang di atas telah memberi pemahaman kepada kita, bahwa sumber-sumber penyebab utama terjadinya inflasi tidak lain adalah akibat dari transaksi mata uang yang tidak sesuai dengan ketentuan Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karena itu, jika kita ingin mewujudkan stabilitas ekonomi yang relatif lebih permanen, yaitu stabilitas ekonomi yang ditandai dengan rendahnya tingkat inflasi, yang akan lebih mendukung bagi terwujudnya pembangunan ekonomi jangka panjang, maka kita harus berani melakukan langkah-langkah kebijakan yang lebih mendasar, yaitu berupaya menghilangkan masalah sampai kepada sumber-sumber penyebabnya.
Tentu saja semuanya itu akan kembali kepada keyakinan kita. Jika kita masih memiliki keyakinan bahwa Al Qur’an adalah Kitab suci yang berasal dari Allah SWT, demikian juga, jika kita masih yakin bahwa Allah SWT adalah Dzat yang Maha Tahu terhadap apa yang lebih bermanfa’at bagi makhluknya dan apa-apa yang akan membawa kemudharatan, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk meragukan petunjuk dari Allah SWT tersebut. Wallahu a’lam bish-showab.
DAFTAR PUSTAKA
Boediono. 1999. Ekonomi Makro. BPFE. Yogyakarta.
Boediono. 1992. Ekonomi Moneter. BPFE. Yogyakarta. Edisi 3.
Bordo, Michael D., Christopher M. Meissner, Marc D. Weidenmier. Currency Mismatches, Default Risk, And Exchange Rate Depreciation: Evidence From The End Of Bimetallism. Working Paper 12299. National Bureau Of Economic Research. Cambridge. June 2006
Bordo, Michael D., Robert T. Dittmar, William T. Gavin. Gold, Fiat Money, And Price Stability. Working Paper 10171. National Bureau Of Economic Research. Cambridge. December 2003
Chapra, Umar. 2000. Sistim Moneter Islam. Gema Insani Press. Jakarta.
Deliarnov. 1997. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Rajawali Press. Jakarta.
Esquivel, Gerardo and Larrain B, Felipe (2002). The Impact of G-3 Exchange Rate Volatility on Developing Countries. Harvard University Working Paper No. 86.
Humphreys, Ian J. 1997. Pengetahuan Ekonomi untuk Orang Awam. Alih Bahasa: Kencanawati Taniran & Gianto Widianto. Arcan. Jakarta.
Karim, Adiwarman. 2002, Ekonomi Islam – Suatu Kajian Ekonomi Makro, IIIT & Karim Business Consulting, Jakarta.
An-Nabhani, Taqiyyudin. 1990. An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam. Beirut : Darul Ummah. Cetakan IV.
Prayitno, Hadi & Budi Santosa. 1996. Ekonomi Pembangunan. Ghalia Indonesia. Jakarta. Cetakan I.
Sabiq, Sayyid. 1995. Fikih Sunnah. Alih Bahasa: Kamaluddin A. Marzuki. Al-Ma’arif. Bandung.Cetakan 5.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid - An-Nuur. Pustaka Rizki Putra. Semarang. Cetakan II. Edisi II.
Siregar, Mulya E. 2001. Manajemen Moneter Alternatif. Dalam: Dinar Emas - Solusi Krisis Moneter. Penyunting: Ismail Yusanto dkk. Pirac, SEM Institute, Infid. Jakarta.
Tambunan, Tulus. 1998. Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi. Lembaga Penerbit FEUI. Jakarta.
Triono, Dwi Condro. 2003. Pertumbuhan Ekonomi Versus Pemerataan Ekonomi. Irtikaz. Yogyakarta.
Triono, Dwi Condro. Mata Uang Negara Khilafah. Media Politik dan Dakwah Al Wai'e No. 70 Tahun VI. Juni 2006.