I made this widget at MyFlashFetish.com.

Rabu, 06 Januari 2010

Demokrasi Kapitalis Tidak Berkah, Ekonomi Islam Khilafah itu Berkah


Assalamu’alaikum wr. Wb.
Ustadz, meskipun banyak negara yang menerapkan sistem demokrasi (tidak menerapkan sistem ekonomi syariah) namun kenyataannya banyak Negara yang sejahtera. Terbukti tingkat pendapatan perkapita mereka tinggi (http://www.forbes.com/lists/2008/6/biz_bizcountries08_Best-Countries-for-Business_GDPPerCap.html). Apakah ini berarti bahwa demokrasi itu sekedar alat, yang penting sejahtera ?
Terima kasih atas jawabannya.
Wassalam
Andi di Jakarta
Jawaban :
Wa’alaikum salam wr. Wb.
Audzubillah, bismillah, wassholatu wassalamu ‘ala rasulillah Muhammadin ibni Abdillah wa ‘ala alihi washahbihi wa man walah amma ba’du.
Saudaraku,
Dahulu sebelum mengkaji Islam secara ideologis saya pun berpikiran demikian. Jika makmur atau sejahtera tidak harus dengan ekonomi syariah, maka boleh lah kita menerapkan sistem kapitalisme atau demokrasi. Jika perlu, kita Islamkan sistem demokrasi yang ada menjadi demokrasi Islami.
Saudaraku,
Setelah saya tercerahkan dengan ideologi Islam, maka saya mengambil kesimpulan bahwa opini dan pemikiran tersebut ternyata sangat berbahaya bagi umat. Umat akan sedikit demi sedikit masuk ke dalam lubang biawak, sedikit demi kita tersesatkan.
Semestinya target hidup seorang muslim tidak hanya makmur dan sejahtera, namun juga berkah. Hidup berkah itu adalah kehidupan yang senantiasa bertambah kebaikan. Kebaikan yang kita tebarkan maupun kebaikan yang kita terima dan rasakan senantiasa bertambah, itulah hidup berkah (ziyadatul khair).
Makmur Tapi Tidak Berkah
Saudaraku,
Banyak orang terpukau dengan kehebatan negara-negara maju. Namun sesungguhnya, kehebatan itu memiliki built-in error yang akan secara dramatis bisa membalikkan situasi di masa depan.
Kemajuan yang diraih negara-negara maju itu membuat dayabeli masyarakat tinggi dan mengakibatkan konsumsi yang juga tinggi. Meningkatnya konsumsi ini mengakibatkan meningkatnya kerusakan lingkungan akibat naiknya permintaan bahan mentah dan juga bertambahnya limbah, baik dalam proses produksi maupun pasca konsumsi. Indikator lingkungan yang sering dilansir LSM-LSM lingkungan (seperti Greenpeace) tampak mulai mengkhawatirkan. Sebagai contoh, emisi rata-rata CO2 perkapita dari industri maupun kendaraan di Amerika Serikat sudah puluhan kali dari yang ada di Indonesia.
Saudaraku,
Kemajuan materi yang pesat di negara-negara maju itu ternyata masih belum memenuhi kebahagiaan spiritual manusia-manusia di sana. Di AS dan Jepang tumbuh ribuan sekte spiritual, dari mulai penyembah piring terbang (UFO) sampai yang terang-terangan mengaku menyembah setan. Pengikutnya pun tidak sedikit yang berasal dari kalangan mapan dan intelektual.
Para pencari kebahagiaan ini ada juga lari ke narkoba atau petualangan seks. Tidak aneh bahwa bagi Amerika Serikat, musuh yang tidak terkalahkan itu bukanlah Irak dengan (tuduhan) senjata pemusnah massalnya, atau al-Qaeda dengan (tuduhan) terorismenya, namun narkoba! Lebih banyak orang Amerika yang mati karena narkoba, daripada yang tewas pada perisitwa WTC-911 atau gugur di Irak. Narkoba menjadi persoalan yang hampir mustahil diselesaikan. Hal yang mirip juga terjadi di Belanda, ketika pemerintah akhirnya memutuskan untuk membagi saja narkoba secara gratis namun terkontrol, daripada menjadikannya ilegal namun berdampak sosial-ekonomi lebih parah. Indikasi disorientasi kehidupan ini juga tampak pada angka perceraian yang sangat tinggi, yang menjadikan generasi muda di sana rata-rata tidak lagi memiliki figur ayah atau ibu. Akibatnya, tingkat kekerasan pada remaja meningkat, di samping juga angka bunuh diri.
Eksploitasi Negara Lain
Saudaraku,
Jika kita mencermati secara obyektif beberapa negara mengandalkan kemajuannya itu dari ekploitasi negara lain, baik dari sisi sumberdaya alam, finansial, SDM maupun tempat pembuangan limbah. Contoh yang unik adalah negeri Swiss yang terkenal dengan coklatnya, padahal di Swiss tidak ada pohon coklat! Sebagian besar energi yang menjalankan roda industri di Eropa, Amerika Serikat, atau Jepang didatangkan dari Timur Tengah. Demikian juga untuk bahan tambang, kayu, sebagian besar produk pertanian, bahkan pasir! Singapura mengeruk pasir dari Riau untuk reklamasi pantainya. Konon, jumlah pasir yang telah dikeruk itu cukup untuk menambal seluruh pantai utara pulau Jawa selebar 60 meter.[i]
Sebagian besar produk industri dengan merek negara maju sejatinya dibuat di negara berkembang. Produk itu dibuat dengan tenaga murah, kemudian dijual dengan harga berlipat-lipat, karena menyandang merek negara maju. Sejatinya teknologi yang dipakai relatif mudah ditiru, namun teknologi itu diproteksi dengan hak paten sehingga hanya orang yang diberi izin penemunya yang boleh menirunya. Walhasil, cashflow yang ada akan selalu positif di pihak negara maju sehingga mereka bisa mendapatkan barang dan jasa yang lebih banyak daripada negara berkembang mendapatkannya dari negara maju.
Kekuatan finansial juga merupakan salah satu kunci kemampuan negara-negara sekular untuk memantapkan kemakmuran negerinya. Tawaran pinjaman ke negara-negara berkembang sejatinya adalah alat untuk memutar uang bagi mereka. Pemberian utang adalah sebuah proses agar negara peminjam tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang makin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu. Pada akhir pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1966, utang luar negeri Indonesia 2,437 miliar dolar AS. Itu hanya utang pemerintah. Jumlah ini meningkat 27 kali lipat pada akhir pemerintahan Presiden Soeharto Mei 1998, dengan nilai 67,329 miliar dolar. Pada akhir tahun 2003 utang itu menjadi 77,930 miliar dolar AS. Swasta baru mulai mengutang pada tahun 1981. Pada tahun 1998 jumlah utang swasta sudah mencapai 83,557 miliar dollar. Menjelang akhir tahun 2008 sudah mencapai US $ 2.335,8 Miliar dengan tingkat bunga sekitar 5%, jumlah riba bunganya saja yang harus kita bayarkan berkisar 116,7 milyar Dollar (asumsi 1$=Rp 12.000, riba bunga setara dengan Rp 1400 trilyun). Seandainya kita mengasumsikan tiap hari seorang penduduk Indonesia untuk makan tiap hari mengeluarkan biaya Rp 15 ribu rupiah sekali makan dan 3 kali makan dalam sehari (Rp. 45,000). Maka untuk bunganya saja dari utang kita dalam setahun sangat mencukupi untuk makan penduduk Indonesia sebanyak 71, juta jiwa selama setahun!!!!
Saudaraku,
Ketika dihadapkan pada skop global ini, tampak bahwa negara-negara maju itu hanya peduli jika itu berkaitan dengan kepentingannya. Sebuah reportase dari Children-Right Watch (Komisi Pengawasan Hak Anak-anak), misalnya, melaporkan bahwa di Mexico dan Columbia, puluhan anak-anak diculik setiap harinya untuk diambil organ tubuhnya. Organ tubuh itu seperti lever, mata, bahkan jantung, diambil untuk memenuhi kebutuhan transplantasi organ bagi anak-anak di Amerika Serikat.
Kesimpulannya, demokrasi yang tampak berhasil di negara maju, sejatinya menyimpan bom waktu (problem sosial, dll) yang akan meledak pada masa depan di negeri mereka sendiri. Karena sejatinya mereka nampak makmur bukan karena menerapkan sistem demokrasi, namun porsi besar faktor penunjang kemakmuran mereka adalah karena neo imperialisme kepada negara lainnya. Saat ini pun dampak negatifnya sudah dirasakan di negara-negara berkembang.
Sejahtera Dan Berkah
Saudaraku,
Berdasarkan penggalian dari literatur khazanah Islam yang telah terbukti mampu mensejahterakan rakyatnya, setidaknya ada 3 konsep ekonom Islam untuk mewujudkan masyarakat sejahtera, yaitu; pertama: Kepemilikan harta, meliputi kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Kedua: Pengelolaan harta, mencakup pemanfaatan dan pengembangan harta yaitu mengutamakan pembelanjaan wajib, sunnah, kemudian yang mubah. Sistem ini melarang pemanfaatan harta yang tidak syar’i dan negara wajib memberikan sanksi ta’zir karena pemanfaatan harta haram.
Syariah Islam mengatur berkaitan dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi tiap individu masyarakat, baik berupa pangan, pakaian, dan papan, serta lapangan pekerjaan (Ramadhan, 2004).[ii]
Dalam hal memenuhi kebutuhan pokok ini Islam telah mewajibkan kaum laki-laki untuk bekerja untuk mencukupi kebutuhan pokok dirinya, sanak kerabatnya yang tidak mampu, serta isteri dan anak-anaknya. (Qs. al-Baqarah [2]: 233).
Bagi pihak yang tidak mampu bekerja, maka sanak kerabatnya akan menjaminnya. Jika tidak mampu, maka beban menafkahi diserahkan kepada negara. Kas negara akan menanggung nafkah bagi orang-orang yang tidak mampu bekerja dan berusaha.
Negara selayaknya juga menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya, agar rakyat bisa bekerjsa dan berusaha. Negara juga harus mendorong rakyatnya agar giat bekerja agar mereka bias memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Jika negara tidak mampu, maka seluruh kaum muslim wajib menanggungnya. Ini direfleksikan dengan cara penarikan pajak oleh negara dari orang-orang yang mampu, lalu didistribusikan kepada orang-orang yang tidak membutuhkan.
Ketiga: Distribusi kekayaan, haram penimbunan emas, perak, uang atau modal yaitu jika ditimbun bukan untuk membiayai sesuatu yang direncanakan. Hanya dibolehkan ekonomi riil dan melarang praktik ekonomi non riil. Mata uang menggunakan standar emas dan perak. Semua ini menjamin pendistribusian kekayaan masyarakat secara adil,dan menjamin semua aktivitas ekonomi bersifat riil serta memiliki efek langsung terhadap kesejahteraan dan peningkatan taraf ekonomi.
Tinggalkan demokrasi Kapitalis dan terapkan Islam adalah Pilihan akal sehat
Saudaraku,
Pada masa Kekhilafahan Islam sepanjang sejarahnya, kemakmuran dan kesejahteraan justru dirasakan oleh semua orang, Muslim maupun non-Muslim.
Kemakmuran ekonomi sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam pada masa lalu benar-benar nyata. Sekadar contoh, gambaran tersebut terjadi pada dua masa yang berbeda: masa Khalifah Umar bin al-Khaththab (era Khulafaur Rasyidin) dan masa Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz (era Kekhilafahan Bani Umayah).
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab selama 10 tahun, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Abu Ubaid menuturkan (Al-Amwâl, hlm. 596) bahwa dalam tiga tahun saja masa pemerintahan Khalifah Umar, di wilayah Yaman saja, setiap tahun Muadz bin Jabal mengirimkan separuh bahkan seluruh hasil zakat yang dipungutnya kepada Khalifah Umar. Harta zakat itu tidak dibagikan kepada kalangan fakir-miskin. Masalahnya, kata Muadz, “Saya tidak menjumpai seorang (miskin) pun yang berhak menerima bagian zakat.” (Al-Qaradhawi, 1995).
Ghanîmah juga melimpah pada masa Khalifah Umar. Setelah Penaklukan Nahawand (20 H) yang disebut fath al-futûh (puncaknya penaklukan), misalnya, setiap tentara berkuda mendapatkan ghanîmah sebesar 6000 dirham (senilai Rp 75 juta), sedangkan masing-masing tentara infanteri mendapat bagian 2000 dirham atau senilai Rp 25 juta. (Ash-Shinnawi, 2006).
Adapun pada masa Khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat, hanya sekitar 3 tahun (99-102 H/818-820 M), setiap warga negara juga merasakan kemakmuran dan kesejahteraan yang sama. Ibnu Abdil Hakam (Sîrah Umar bin Abdul ‘Azîz hlm. 59) meriwayatkan bahwa Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, pernah berkata, “Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Al-Qaradhawi, 1995).
Pada masanya, Gubernur Basrah juga pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.” (Al-Qaradhawi, 1995).
Saudaraku,
Di bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, Khilafah Islam sangat peduli terhadap dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pada masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab saja, Khalifah Umar memberikan gaji kepada para pengajar al-Quran masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas. Jika 1 gram emas Rp 100.000,00, 1 dinar berarti setara dengan Rp 425.000,00. Artinya, gaji seorang guru ngaji adalah 15 (dinar) X Rp 425.000,00 = Rp 6.375.000,00. Ini berarti lebih dari 2 kali lipat dari gaji seorang guru besar (profesor) di Indonesia dengan pengabdian puluhan tahun.
Para khalifah juga sangat peduli terhadap dunia perbukuan. Pada abad ke-10, misalnya, di Andalusia saja terdapat 20 perpustakaan umum. Perpustakaan Cordova, misalnya, memiliki tidak kurang dari 400 ribu judul buku. Ini termasuk jumlah yang luar biasa untuk ukuran zaman itu. Padahal empat abad setelahnya, dalam catatan Chatolique Encyclopedia, Perpustakaan Gereja Canterbury saja—yang terbilang paling lengkap pada abad ke-14—hanya miliki 1800 (1,8 ribu) judul buku. Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo juga mengoleksi tidak kurang 2 juta judul buku. Perpustakaan Umum Tripoli di Syam—yang pernah dibakar oleh Pasukan Salib Eropa—bahkan mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku, termasuk 50 ribu eksemplar al-Quran dan tafsirnya. Di Andalusia, pernah pula terdapat Perpustakaan al-Hakim yang menyimpan buku-bukunya di dalam 40 ruangan. Setiap ruangan berisi tidak kurang dari 18 ribu judul buku. Artinya, perpustakaan tersebut menyimpan sekitar 720 ribu judul buku.
Pada masa Kekhilafahan Islam yang cukup panjang, khususnya masa Kekhalifahan Abbasiyah, perpustakaan-perpustakaan semacam itu tersebar luas di berbagai wilayah Kekhilafahan, antara lain: Baghdad, Ram Hurmuz, Rayy (Raghes), Merv (daerah Khurasan), Bulkh, Bukhara (kota kelahiran Imam al-Bukhari), Ghazni, dsb. Lebih dari itu, hal yang lazim saat itu, di setiap masjid pasti terdapat perpustakaan yang terbuka untuk umum.
Rata-rata pengunjung perpustakaan pada masa Kekhilafahan Islam ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Seorang ulama seperti Yaqut ar-Rumi bahkan memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasan karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi masa Kekhalifahan Islam Abad 10 M.
Saudaraku,
Penghargaan para khalifah terhadap para ulama/ilmuwan juga sangat tinggi. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya. Bisa dibayangkan jika seorang ulama menulis lebih dari satu judul buku. Faktanya, para ulama/ilmuwan Muslim pada masa lalu adalah orang-orang yang produktif dalam menghasilkan karya berupa buku. Di antara mereka bahkan ada yang menulis puluhan atau ratusan judul buku, berjilid-jilid pula.
Itulah secuil gambaran kerberhasilan berupa kemakmuran dan kesejahteraan yang dicapai oleh Khilafah Islam sepanjang sejarahnya.
Pertanyaannya, mengapa Khilafah pada masa lalu mampu menciptakan kemakmuran, kesejahteraan dan keberkahan hidup? Kuncinya tidak lain adalah syariah Islam yang diterapkan secara total oleh Khilafah dalam seluruh aspek kehidupan. Mahabenar Allah Yang berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Maknanya, Allah SWT mengutus Nabi Muhammad saw.—dengan membawa syariah-Nya—adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan keberkahan bagi alam ini.
Saudaraku,
Solusi syariah untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut tentunya harus ada pemahaman (mafahim), pandangan hidup (maqayis) dan aturan-aturan (qanaat) syariah yang diyakini masyarakat untuk menerapkan sistem ekonomi Islam dalam negara Khilafah yang akan menerapkan sistem ekonomi yang adil, manusiawi, menyejahterakan, dan bermartabat dengan penuh keberkahan dari Allah Swt. [ ]

[i] Silakan baca tulisan Fahmi Amhar dalam Al-Waie edisi 46
[ii] http://swaramuslim.com/islam/more.php?id=A1786_0_4_0_M

0 komentar:

Posting Komentar